BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ali bin Abi Thalib adalah sepupu
Rasulullah saw. Beliau adalah anak Abu Thalib, paman Rasul. Beliau juga adalah
suami dari Fatimah azZahra, puteri Rasul. Ayah dari Hasan dan Husein, dan dari
sinilah berkembang keturunan Rasulullah.
Setelah khalifah Utman terbunuh,
terjadilah pergolakan politik. Dan sebagian besar kaum Muslim secara aklamasi
memilih serta menunjuk imam Ali sebagai khalifah. Namun ada sebagian golongan
yang tidak menyukai diangkatnya Ali sebagai khalifah, karena mereka juga
menginginkan tahta tersebut dan khawatir akan musnahnya kenyamanan yang mereka
peroleh selama ini apabila Ali menjabat sebagai khalifah. Karena Ali dikenal
sebagai orang yang sangat keras dan disiplin serta perhitungan dalam
mengeluarkan harta negara. Dalam merealisasikan usahanya, Ali menghadapi banyak
tantangan dan peperangan, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan
pembaharuan yang dirancangnya dapat merongrong dan menghancurkan
keuntungan-keuntungan beberapa pribadi dan kelompok.[1]
Pada mula-mula Ali menghadapi
tantangan dari Ummul Mukminin Aisyah ra. dalam perang jamal, perang ini terjadi
karena pihak Aisyah menuntut bela atas pembunuhan Utsman bin Affan, sedangkan
faktor internnya adalah hasutan dari keponakan Aisyah yang juga menginginkan
tahta kekhalifahan. Maka terjadilah peperangan antar saudara ini.
Kemudian majulah Muawiyah dan
pengikutnya menentang pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Maka mereka pun bertemu
dalam perang Shiffin antar laskar Ali bin Abi Thalib dan laskar Muawiyah.
Selain perang jamal dan perang
shiffin, Ali juga menghadapi tantangan dari pemberontakan-pemberontakan yang
dilakukan oleh kaum khawarij. Maka pada masa pemerintahan kekhalifahan Ali bin
Abi thalib banyak diwarnai pergolakan-pergolakan dan peperangan, sehingga
pemerintahan Ali pun tidak dapat bertahan lama. Ali wafat terbunuh oleh pemberontak
dari kaum khawarij.
BAB II
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
A. Ali Menjadi
Khalifah
Terbunuhnya Amirul Mu’minin, Utsman
bin Affan, telah mengakibatkan kekacauan dan kemarahan besar umat islam di
Madinah. Hal itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya umat islam khawatir
akan terjadi bencana setelah mengetahui bahwa pemegang tampuk pemerintahan
kosong. Mereka juga melihat imam Ali bin Abu Thalib adalah sosok yang pas untuk
memegang jabatan khalifah setelah Utsman
[3].
Rakyat terbanyak, mereka menanti-nantikan Ali dan menyambutnya dengan tangan
terbuka. Oleh karena itu pembai’ahan Ali adalah pembai’ahan dari rakyat
terbanyak. Mereka segera datang kepada Ali untuk membai’ah beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa musuh
Ali itu banyak. Di antaranya ada yang menyembunyikan permusuhan itu, dan ada
yang menyatakannya terang-terangan.
Kengkatan Ali dapat ditinjau dari
berbagai jurusan. Bahwa yang tiada menyukai Ali diangkat menjadi khalifah,
bukanlah rakyat umum yang terbanyak, tetapi segolongan kecil (keluarga Umayyah)
yaitu keluarga yang pemuda-pemudanya telah banyak tewas dalam peperangan
menantang islam. Sekarang mereka tergolong kaum elite, cabang atas. Mereka
menantang Ali karena khawatir, kekayaan dan kesenangan mereka akan hilang
lenyap karena keadilan yang akan dijalankan Ali.
Dengan memperhatikan suasana
pembai’ahan Ali, dapat diambil kesimpulan bahwa pembai’ahan itu bukanlah dengan
sepenuh hati kaum muslimin. Terutama bani umayyah, merekalah yang mempelopori
orang-orang yang tidak menyetujui Ali.
Ali mempunyai watak dan pribadi
sendiri, suka berterus-terang, tegas bertindak dan tak suka berminyak air. Ia
tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Disebabkan oleh
kepribadian yang dimilikinya itu, maka sesudah ia dibai’ah menjadi khalifah,
dikeluarkannya dua buah ketetapan:
- memecat kepala-kepala daerah angkatan Utsman. Dikirmnya kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu terpaksa kembali saja ke Madinah, karena tak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya.
- mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Utsman kepada famili-famili dan kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapa pun yang tiada beralasan, diambil Ali kembali.
Banyak pendukung-pendukung dan
kerabat Ali yang menasehatinya supaya menangguhkan tindakan-tindakan radikal
seperti itu, sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan.
Pertama-tama Ali mendapat tantangan dari keluarga Bani Umayyah. Mereka
membulatkan tenaga dan bangunlah Muawiyah melancarkan pemberontakan memerangi
Ali.[4]
B. Perang
Jamal
Dinamakan perang jamal (unta) karena
pada saat itu siti Aisyah isteri Rasulullah dan puteri Abu Bakar asShidiq ikut
dalam perang ini dengan mengendarai unta. Peperangan ini dipicu karena pasukan
Aisyah menuntut agar dilakukan balasan setimpal atas terbunuhnya Utsman.
Dalam perang jamal Thalhah dan
Zubair menggabungkan diri dengan pasukan Aisyah. Sementara dari Yaman datang
pula ke Makkah Ya’ali bin Umayyah – Gubernur angkatan Utsman – memberikan 600
keledai serta hartanya untuk disiapkan dalam menghimpun pasukan besar. Dari
Basrah pun datang pula Abdullah bin Amir membawa harta yang banyak pula. Dan
ditambah dengan keluarga Umayyah yang ada di Hejaz, mereka menggabungkan diri
akan menuntut bela Utsman.
Ketika telah sampai ke daerah yang
bernama Marbad, pasukan Aisyah telah mencapai 3.000 orang yang di dalamnya
terdapat sekitar 1.000 orang Persia. Dari Basrah, banyak umat islam yang hendak
ikut tergabung bersama pasukan ummul mu’minin.[5]
Ada faktor penting lain yang
diperkirakan mendorong Aisyah mengikuti perang jamal, yaitu faktor Abdullah bin
Zubair, putera saudara perempuannya bernama Asma. Abdullah bin Zubair ini
diambil Aisyah dari Asma, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan dididiknya di
rumahya sendiri, karena Aisyah tiada dikaruniai anak. Oleh karena itu Aisyah
biasa dipanggil Ummul Abdillah (ibunda Abdullah).
Abdullah mempunyai ambisi hendak
menduduki kursi khalifah, tetapi keinginannya itu terhalang karena Ali. Maka
dihasutnyalah Aisyah – bibinya – untuk menceburkan diri ke dalam peperangan
melawan Ali, siapa tahu kalau Ali gugur, kesempatan akan terbuka baginya,
karena tak da lagi orang yang akan menyainginya.
Dilihat secara umum, penduduk Basrah
pecah dua, ada yang menyokong dan ada yang menantang. Antara kedua golongan ini
terjadi perkelahian yang banyak memakan korban. Ratusan yang mati terutama dari
golongan yang menantang Aisyah.
Kemudian Ali datang dengan
balatentara yang banyak jumlahnya. Pertama-tama diusahakannya supaya Aisyah dan
pengikut-pengikutnya mengurungkan maksud mereka. Dan kepada beberapa orang di
antara mereka, diperingatkan Ali akan bai’ah dan sumpah seti yang telah
diberikan mereka.
Nasehat Ali termakan oleh mereka.
Diadakan perundingan yang hampir berhasil, kaum muslimin akan terhindar dari
bahaya perang. Tetapi tanpa mendapat izin dari Ali, malah tidak setahunya,
pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ memancing perkelahian dan dibalas oleh
pengikut-pengikut Aisyah, maka terjadilah pertempuran antara dua golongan kaum
muslimin, pengikut Ali dan pengikut Aisyah.
Pertempuran dalam perang ini terjadi
sangat segit, sehingga Zubair melarikan diri. Dia dikejar oleh beberapa orang
yang benci kepadanya, lalu dibunuh. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada
permulaan perang ini. Akhirnya setelah unta yang ditunggangi ummul Mu’minin
dapat dibunuh, maka berhentilah pertempuran dengan kemenangan di pihak Ali.[6]
C. Perang Shiffin
Perang Shiffin adalah peperangan
antara Ali dan Muawiyah. Muawiyah adalah anak Abu Sufyan paman Utsman. Pemuka
Bani Umayyah yang amat disegani dan dipatuhi oleh laskarnya.
Dengan memperhatikan selintas lalu,
akibatnya yang kelihatan ialah Ali menang, tetapi jika diperhatikan dengan
teliti kelihatanlah bahwa perang jamal ini akibatnya sangat besar dan amat
dalam dari yang kelihatan semula.
Ribuan tentara Ali telah gugur. Hal
ini telah melemahkan tentara Ali. Selanjutnya, pendukung-pendukung Aisyah yang
terdiri dari kebanyakan dari penduduk Makkah, Madinah dan Basrah, ditambah
dengan sahabat-sahabat Aisyah sendiri, telah gugur pula sebesar jumlah
tersebut.
Banyaknya kaum muslimin yang gugur,
menimbulkan dendam dan kusumat terhadap Ali. Jika ditilik pula laskar Ali,
kebanyakan dari mereka belum pernah sebelumnya berkenalan dengan Ali, dan belum
pernah berhutang budi kepada Ali, jadi hubungan yang akrab tidak ada. Untuk
merangkul mereka, Ali tidak memiliki kekayaan yang cukup untuk menarik
pahlawan-pahlawan dan orang-orang yang menyambung nyawa. Sekiranya kekayaan itu
ada, Ali tidaklah akan gampang saja mengeluarkan harta kekayaan Tuhan itu, jika
tidak pada tempatnya.
Sementara kekuasaan Muawiyah
telah berurat akar di Syam. Sebagai seorang politikus ulung dia dapat
mempergunakan kesempatan. Dia tahu betul bahwa jalan yang paling dekat untuk
memikat hati manusia ialah: pemberian dan tipu muslihat.
Negeri Syam adalah negeri yang kaya
raya, dan rakyatnya makmur. Semenjak mereka masuk islam, bahkan semenjak
sebelaum daerah itu dimasuki islam, penduduknya belum pernah merasakan
pemerintah yang selama dan semakmur yang dijalankan Muawiyah.
Amr bin Ash juga menggabungkan diri
dengan Muawiyah dan dia pun masih keluarga Umayyah juga. Banyak lagi
orang-orang terkemuka dan suku-suku arab yang terang-terangan memihak Muawiyah.
Sementara itu, Muawiyah sudah sejak lama dapat membentuk tentara yang disiplin
di Syam.[7]
Perang jamal mengakibatkan gugurnya
ribuan tentara Ali, berarti dia kehilangan tenaga yang baik. Sementara itu
Muawiyah memperkuat laskarnya dengan membagi-bagi uang kepada merak dan
pengikutnya, sehingga ikatan kesatuan mereka menjadi kuat.
Mereka dapat dihasut Muawiyah
menantang pembunuh-pembunuh Utsman. Baju gamis Utsman yang berlumuran darah
dibentangkan Muawiyah di mimbar masjid. Berapa buah anak jari tangan isteri
Utsman yang telah terpotong waktu dia menghambat pukulan-pukulan kaum
pemberontak atas suaminya, ikut pula digantungkan Muawiyah pada baju gamis
Utsman itu.[8]
Penduduk Syam menolak memberikan
jabatan khalifah kepada Ali, karena hal itu menurut mereka berarti menyerahkan
jabatan itu kepada Bani Hasyim untuk selamanya. Mereka berpendapat bahwa
jabatan khalifah itu hak kaum muslimin. Dan mereka memihak kepada Muawiyah
karena kehidupan mereka bertambah baik dan makmur dibawah pemerintahannya.
Dalam keadaan demikian, Ali maju
dengan tentaranya ke Syam. Kedatangan Ali disambut oleh laskar Muawiyah. Kedua
laskar bertemu di sebuah tempat dekat sungai Furat. Ali sudah berkali-kali
meminta Muawiyah membai’ahnya dan bersatu dengannya, tapi Muawiyah tidak
mendengarkan.[9]
Pertempuran terjadi di antara kedua
laskar. Ali dengan keberaniannya dapat membangkitkan semangat dan kekuatan
laskarnya, sehingga kemenangan sudah membayang baginya. Muawiyah yang sudah
cemas, buru-buru memanggil Amr bin Ash. Dalam kondisi yang betul-betul kritis
tersebut, Amr bin Ash mengusulkan mengangkat al-Quran tinggi-tinggi sebagai
pertanda mengajak mengajak laskar lawan untuk melakukan tahkim kepada
kitabullah.[10]
Laskar Ali menyambut dan mendukung
rencana tahkim kepada al-Quran tersebut dan mendinginkan semangat untuk
berperang. Akan tetapi berbeda halnya dengan Amirul mu’minin, beliau tetap
bersikeras memberikan semangat kepada pasukannya agar tetap berperang dan dan
tidak menghiraukan seruan musuh. Ali memberikan peringatan kepada laskarnya
akan tipu-daya yang yang dilakukan Amr bin Ash. Tetapi seruan Ali tidak
mendapat perhatian, malahan mereka memaksa Ali supaya mengumumkan bahwa perang
dihentikan. Ali terpaksa mengikuti.
D. Tahkim
Kedua laskar memutuskan untuk
memilih dua orang pelaku perdamaian (hakamain) dari kedua belah pihak. Muawiyah
menugaskan Amr bin Ash sebagai perwakilan perdamaian dari pihaknya. Sedangkan
dari pihak Ali ditunjuklah Abdullah bin Abbas,hanya saja kaum Khawarij dan
penduduk Yaman menolak, mereka malah meminta Abu Musa al-Asy’ari untuk menjadi
perwakilan perdamaian. Ali terpaksa menerima hal ini karena Abu Musa al-Asy’ari
dipilih oleh suara terbanyak.
Kedua perwakilan ini berkumpul pada
bulan Ramadhan. Sesungguhnya tidak terdapat keseimbangan dalam pertahkiman ini.
Mereka bersepakat untuk menanggalkan pemimpin kedua belah pihak, yakni Ali dan
Muawiyah. Maka tampillah Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash untuk mengumumkan
hasil tahkim mereka ke hadapan khalayak. Amr bin Ash mempersilakan Abu Musa
al-Asy’ari untuk maju terlebih dahulu. Maka majulah Abu Musa mengumumkan bahwa
dia telah menurunkan Ali dari jabatannya. Tetapi setelah itu, Amr bin Ash maju
mengumumkan bahwa dia setuju memperhentikan Ali, kemudian diumumkannya bahwa
dia menetapkan Muawiyah.
Peristiwa tahkim menimbulkan
perpecahan pada laskar Ali. Kaum Khawarij mulailah memberontak dan meninggalkan
Ali, dengan alasan Ali menerima tahkim, padahal kebanyakan kaum khawarij
tadinya memaksa Ali supaya menerima tahkim. Mereka bukan tidak mengakui bahwa
mereka tadinya mendesak Ali supaya menerima tahkim. Tetapi mereka masih
menyalahkan Ali, kata mereka : “Kami telah salah, tetapi mengapa engkau ikut
pekataan kami, padahal engkau tahu bahwa kami salah. Sebagai seorang khalifah,
harus mempunyai pandangan yang jauh, melebihi pandangan kami, dan pandangan
yang lebih tepat dari pendapat kami.” [11]
Kaum Khawarij tidak hanya
meninggalkan Ali, malahan mereka juga melakukan berbagai pemberontakan dan
pelanggaran di Irak.
Ali masih berusaha mengembalikan
mereka kepada kebenaran dengan berbagai cara, tapi tidak berhasil. Akhirnya Ali
mengambil keputusan memerangi mereka. Walaupun diperangi, namun mereka tidak
dapat dihancurkan. Karena kalau Ali dapat menghancurkan mereka pada satu waktu
atau tempat, lantas di wktu atau di tempat lain timbul lgi laskar mereka yang
baru. Demikian seterusnya. Maka merosotlah kekuatan dan kekuasaan Ali.
Sementara di Syam kekuasaan dan
kekuatan Muawiyah semakin kuat, ditambah lagi Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah
bin Umar juga menggabungkan diri dengan Muawiyah.
E. Akhir
Riwayat Ali
Pada tahun 40H, tiga orang Khawarij
yaitu Abdurrahman bin Muljam, Barak bin Abdillah at-Tamimy dan Amr bin Bakr
at-Tamimy, berkomplot untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash. Karena
menurut tiga orang Khawarij ini ketiga pemimpin inilah yang menyebabkan
banyaknya pertikaian, perselisihan dan peperangan.
Maka Abdurrahman bin Muljam
berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali. Dia berhasil membunuh Ali dengan
pedangnya pada saat Ali sedang memanggil orang untuk sholat. Orang-orang yang
sholat di masjid itu dapat menangkap ibnu muljam, yang kemudian setelah Ali
berpulang ke rahmatullah dia dibunuh.
Adapun Barak dapat menikam Muawiyah,
tetapi tidak sampai membawanya mati. Sedangkan Amr bin Bark telah menantikan
Amr bin Ash keluar untuk sholat subuh, tetapi beliau tidak keluar, karena
kesehatannya terganggu.[12]
Dengan berpulangnya Ali ke
rahmatullah habislah masa pemerintahan al Khulafaur Rasyidin.
[1]
Prof.Dr.syed Hussain Mohammad Jafri, Moralitas Politik Islam, Cet.I,
(Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h.16
[3]
Hilmi Ali Sy’ban, ‘Ali bin Abu Thalib, Cet.I, (Yogyakarta: Mitra
Pustaka, 2004), h.32
[4]
Prof.Dr.A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, Cet.V,
(Jakarta: Pustaka Al husna, 1987), h.283-284
[5]
Hilmi Ali Sy’ban, Op.Cit., , h.50
[6]
Prof.Dr.A.Syalabi, Op.Cit., , h.292
[7]
Ibid., h.300
[8]
Ibid.
[9]
Ibid.
[10]
Hilmi Ali Sy’ban, Op.Cit., , h.73
[11]
Prof.Dr.A.Syalabi, Op.Cit,. h.304
[12]
Ibid., h.307
Powered By Facebook a>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar