Sabtu, 31 Desember 2011

Bagi yang Mau Hura-Hura, Ingatlah Ancaman Huru Hara

Oleh Hartono Ahmad Jaiz
Ilustrasi gunung meletus
Wahai siapa saja yang akan hura-hura dengan menghamburkan harta sia-sia pada hari-hari yang kalau Allah kehendaki ada huru hara.
Wahai siapa saja yang ingin mengejar nafsu tak peduli apakah itu meniru-niru orang kafir –yang penting senang-senang– di tengah-tengah sebagian banyak faqir miskin lagi merintih karena himpitan beban hidup yang semakin kencang.
Wahai siapa saja yang ingin bermaksiat di tengah-tengah masyarakat yang sebagian (banyak?) sedang melarat.
Wahai siapa saja yang ingin berjoget dan meniup terompet di saat kebanyakan masyarakat kecil lagi kepepet.
Wahai siapa saja yang ingin membakar mercon dan kembang api dengan sia-sia dan menghamburkan harta di saat gunung-gunung di Indonesia sedang berstatus waspada dan siaga untuk memuntahkan api.
Allah telah memperingatkan:
وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ (96) أَفَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا بَيَاتًا وَهُمْ نَائِمُونَ (97) أَوَأَمِنَ أَهْلُ الْقُرَى أَنْ يَأْتِيَهُمْ بَأْسُنَا ضُحًى وَهُمْ يَلْعَبُونَ (98) أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (99)  [الأعراف/96-99]
96. Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.
97. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?
98. Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?
99. Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (QS Al-A’raaf: 96-99)
Bagi orang-orang yang membuat makar jahat, ingatlah!
أَفَأَمِنَ الَّذِينَ مَكَرُوا السَّيِّئَاتِ أَنْ يَخْسِفَ اللَّهُ بِهِمُ الْأَرْضَ أَوْ يَأْتِيَهُمُ الْعَذَابُ مِنْ حَيْثُ لَا يَشْعُرُونَ (45) أَوْ يَأْخُذَهُمْ فِي تَقَلُّبِهِمْ فَمَا هُمْ بِمُعْجِزِينَ (46) أَوْ يَأْخُذَهُمْ عَلَى تَخَوُّفٍ فَإِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ (47) [النحل/45-47]
45. Maka Apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari,
46. atau Allah mengazab mereka diwaktu mereka dalam perjalanan, Maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu),
47. atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur/ dalam Keadaan takut (sampai binasa). Maka Sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. (QS An-Nahl: 45-47)
Allah telah memperingatkan dengan firman-Nya. Masih pula memperingatkan dengan keadaan di sekitar kita yang ada di bumi.
وَفِي الْأَرْضِ آَيَاتٌ لِلْمُوقِنِينَ [الذاريات/20]
Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yakin. (QS Adz-Dzariyat/51: 20)
Bila manusianya sudah banyak yang tidak bertaqwa, bahkan banyak dosa, lupa akherat, lupa Allah Ta’ala; sebenarnya ayat-ayat tersebut di atas sudah cukup untuk mengingatkannya. Namun karena sebegitu besar kasih sayang Allah Ta’ala, masih pula manusia ini diberi peringatan dengan adanya gejala bencana.
Kini di Indonesia sedang aktiv gunung berapi sebanyak 24 yang berstatus waspada dan siaga.
“Gunung api yang statusnya Waspada ada 18 gunung dan Siaga ada 6 gunung,” kata Kepala Bidang Pengamatan Gunung Api, PVMBG Hendrasto, saat dihubungiTempo, Selasa, 27 Desember 2011.
Gunung yang tengah berstatus Siaga atau Level III adalah Gunung Ijen, Gamalama, Papandayan, Karangetang, Lokon, dan Anak Krakatau. Adapun yang statusnya Waspada atau Level II adalah Sorik Marapi, Sundoro, Anak Ranakah, Tambora, Lewotobi Laki-Laki, Soputan, Ibu, Lewotobi Perempuan, Marapi, Bromo, Dieng, Gamkonora, Sinabung, Talang, Kerinci, Semeru, Sangeangapi, serta Dukono.
Dia menjelaskan, umumnya untuk gunung api yang tengah ditetapkan dalam status Siaga diberlakukan larangan mendekati radius tertentu dari kawah aktif gunung itu. Kendati beragam, umumnya sekitar 3 kilometer, kecuali khusus Gunung Ijen yang dilarang didekati hingga radius 1,5 kilometer. ”Tergantung karakter gunungnya,” kata Hendrasto. (Hindari 24 Gunung Api Ini Saat Perayaan Tahun Baru,   AHMAD FIKRI, SELASA, 27 DESEMBER 2011 | 14:42 WIB, TEMPO.CO).
Sementara itu kedhaliman yang ditengarai akan meledak konfliknya ada 14 daerah. Kapan-kapan kemungkinan akan pecah konflik menurut analisa orang.
“Sengketa lahan yang kini masih terjadi, sewaktu-waktu bisa meledak. Bisa meledak seperti di Bima dan Mesuji,” tegas TB Hasanuddin saat ditemui di DPR, Kamis (29/12/2011).
Keempat belas daerah rawan konflik besar yang dimaksud antara lain:
  1. 1.    Masalah lahan sawit di  Belitang Hilir kabupaten Sekadau Kalimantan Barat.
  2. 2.    Masalah lahan tanah yang dirampas oleh pemerintah untuk pembangunan wilayah wisata di Gilitrawangan Selatan, Nusa Tenggara Barat.
  3. 3.    Masalah  sengketa tanah antara TNI  AU dengan rakyat di  Garut selatan dan Rumpin, Bogor, Jawa Barat.
  4. 4.    Sengketa tanah antara rakyat dengan TNI AD di Kebumen, Jawa Tengah.
  5. 5.    Sengketa lahan rakyat dengan PT Permata Hijau  Pasaman, di Jorong Maligi,Kanagarian Sasak Ranah Pesisir, Sumatera Barat.
  6. 6.    Sengketa lahan sawit PT JMB dengan rakyat di Separi Tenggarong  Kutai Kartanegara Kalimantan Timur.
  7. 7.    Sengketa lahan sawit di Muara Tae  Kutai Barat, Kalimantan Timur.
  8. 8.    Sengketa lahan sawit di Wanasalam/Malingping Kabupaten Lebak, Pandeglang, Provinsi Banten.
  9. 9.    Sengketa lahan  PT Bintang Delapan Mineral di Tiaka Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.
  10. 10.  Sengketa di Donggi Sinorak di Kab Luwu,Banggai,  Sulawesi Tengah.
  11. 11.  Sengketa Lahan sawit PT Sonokeling di Kabupaten Buol, Sulawesi Tengah.
  12. 12.  Sengketa lahan PT Citra Palu Mineral di Toli-toli, Sulawesi Tengah.
  13. 13.  Sengketa lahan PT CPM di Paboya, Palu, Sulawesi Tengah.
  14. 14.  Beberapa daerah di Sumatera Utara.
(Daftar 14 Daerah Berpotensi Konflik Besar, Tribunnews.com – Kamis, 29 Desember 2011 17:34 WIB) (lihat http://nahimunkar.com/10394/akibat-tidak-berhukum-dengan-hukum-allah-terancam-banyak-timbul-konflik/)
Selayaknya manusia di dunia ini menggunakan sisa umurnya untuk bertaubat kepada Allah Ta’ala, mendekatkan diri kepada-Nya, dan memohon keselamatan untuk dunia dan akherat.
أَلَمْ يَأْنِ لِلَّذِينَ آَمَنُوا أَنْ تَخْشَعَ قُلُوبُهُمْ لِذِكْرِ اللَّهِ وَمَا نَزَلَ مِنَ الْحَقِّ وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلُ فَطَالَ عَلَيْهِمُ الْأَمَدُ فَقَسَتْ قُلُوبُهُمْ وَكَثِيرٌ مِنْهُمْ فَاسِقُونَ  [الحديد/16]
Belumkah datang waktunya bagi orang-orang yang beriman, untuk tunduk hati mereka mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka), dan janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al Kitab kepadanya, kemudian berlalulah masa yang panjang atas mereka lalu hati mereka menjadi keras. Dan kebanyakan di antara mereka adalah orang-orang yang fasik (QS Al-Hadid/ 57: 16)
Siapakah yang mampu mencegah bila bencana yang faktor-faktornya sudah dibuat sendiri oleh para manusia ini, begitu Allah timpakan kepada para manusia?
Jelas tidak ada yang mampu menolaknya. Maka secara akal bahkan secara penegasan ayat, yang merasa aman dari adzab Allah itu hanyalah orang-orang yang rugi.
أَفَأَمِنُوا مَكْرَ اللَّهِ فَلَا يَأْمَنُ مَكْرَ اللَّهِ إِلَّا الْقَوْمُ الْخَاسِرُونَ (99)  [الأعراف99]
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi. (Al-A’raf: 99)
Wahai kawula penduduk Nusantara yang tetap nekat hura-hura dengan menghamburkan harta untuk sia-sia di tengah kemungkinan adanya huru-hara…
Diingatkan sudah, dikritik sudah, bahkan dijatuhi bencana tsunami yang mematikan 225.000 manusia di Aceh yang baru saja malamnya (ada khabar mereka hura-hura joget-joget) di pantai dalam acara kemusyrikan natalan, lalu paginya 26 Desember 2004 langsung disapu tsunami hingga bergelimpangan tak bernyawa lagi; juga sudah. Maka kalau nanti ada apa-apa dan termasuk yang rugi (seperti yang ditegaskan ayat) itu tadi, ya sudah!
Ya Allah, ya Rabbi, kami mohon ampunanMu. Sebagaimana yang Engkau tuntunkan dalam firman-Mu:
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ [البقرة/286]
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”  (QS Al-Baqarah: 286).
Amien ya Rabbal ‘alamien.
Ilustrasi / infoutama.com
(nahimunkar.com)

Powered By Facebook

Senin, 26 Desember 2011

PARPOL MENURUT SALAFI

Seorang yang dengan penuh kesungguhan mengumpulkan dan mengkaji perkataan para ulama besar salafi mengenai membentuk partai politik akan mengetahui bahwa mereka tidaklah melarang pembentukan partai politik secara mutlak. Akan tetapi fatwa yang diberikan oleh para ulama salafi mengenai masalah ini berbeda-beda tergantung negeri dan perbedaan kondisi penduduknya. Uraian lebih detailnya adalah sebagai berikut:
Pertama, para ulama salafi membolehkan kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk membentuk partai politik dalam kerangka tolong menolong dalam kebaikan dan takwa sebagaimana fatwa Lajnah Daimah yang membolehkan pembentukan partai politik ketika Lajnah Daimah memberikan jawaban untuk pertanyaan yang terdapat dalam fatwa Lajnah Daimah no 5651 23/407-408 yang ditandatangani oleh Syaikh Abdullah bin Qaud, Syaikh Abdullah bin Ghadayan, Syaikh Abdurrazzaq Afifi, Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Fatwa beliau-beliau itu terkait teks pertanyaan berikut ini:
“سؤال : هل يجوز إقامة أحزاب إسلامية في دولة علمانية وتكون الأحزاب رسمية ضمن القانون، ولكن غايتها غير ذلك، وعملها الدعوي سري؟
Pertanyaan, “Apakah diperbolehkan membentuk partai Islam di sebuah negara yang murni sekuler dan partai tersebut legal sebagaimana UU kepartaian yang ada? Akan tetapi tujuan dibentuknya partai tidaklah semata-mata partai. Tujuan dakwah dari partai ini disembunyikan”.
الجواب : يشرع للمسلمين المبتلين بالإقامة في دولة كافرة أن يتجمعوا ويترابطوا ويتعاونوا فيما بينهم سواء كان ذلك باسم أحزاب إسلامية أو جمعيات إسلامية؛ لما في ذلك من التعاون على البر والتقوى”.
Jawaban Lajnah Daimah, “Dibenarkan bagi kaum muslimin yang tinggal di negara kafir untuk berkumpul, menjalin hubungan dan tolong-menolong di antara sesama mereka baik dengan nama partai politik Islam ataupun ormas Islam. Dikarenakan hal tersebut adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa”.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa hendaknya keberadaan partai tersebut adalah bagian dari tolong menolong dalam kebaikan dan takwa.
Kedua, para ulama besar salafi membolehkan sebagian kaum muslimin yang tinggal di sebagian negeri Islam yang di sana ahlus sunnah wal jamaah ditindas dan diinjak-injak oleh ahli bid’ah setelah bermusyawarah bersama para ulama untuk saling tolong menolong di antara sesama, menata barisan dan menyatukan pandangan dan tidaklah mengapa jika mereka mengangkat ketua atau pimpinan ahlu sunnah di negara tersebut. Sebagaimana penjelasan Syaikh Utsman al Kamis terkait penderitaan ahli sunnah di Iraq sebagai contoh. Beliau mengatakan,
“ولذلك وبحسب ما تعلَّمنا من مشايخنا وعلمائنا الذين وجَّهونا إلى وجوب ردِّ الأمر إلى أهله؛ اقتداء بقول الله -تبارك وتعالى-: {وَلَوْ رَدُّوهُ إِلَى الرَّسُولِ وَإِلَى أُوْلِي الأَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِينَ يَسْتَنبِطُونَهُ مِنْهُمْ} , لذلك كله قمنا بأخذ الأسئلة والتوجه بها إلى العلماء من أمثال سماحة المفتي: عبد العزيز بن عبد الله آل الشيخ، وسماحة الشيخ: صالح بن فوزان الفوزان، وسماحة الشيخ: عبد الله المطلق، وسماحة الشيخ: محمد بن حسن آل الشيخ، وفضيلة الشيخ: عبد العزيز السدحان ، والذين تطابقت إجاباتهم على:
“Oleh karena itu menurut apa yang kami pelajari dari para ulama kita yang mereka sendiri yang mengarahkan kita untuk mengembalikan urusan besar kepada orang yang capable untuk menanganinya dalam rangka mengikuti firman Allah yang artinya, “Andai mereka mengembalikan permasalahan tersebut kepada rasul atau ulul amri (baca: ulama) di antara mereka tentu orang-orang yang hendak membuat kesimpulan dari permasalahan tersebut pasti akan mengetahui kesimpulan yang benar tentangnya” [QS an Nisa:83].
Oleh karena itu kami telah menuliskan berbagai pertanyaan lalu mengajukannya kepada para ulama semisal Syaikh Mufti KSA Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan, Syaikh Abdullah al Muthlaq, Syaikh Muhammad bin Hasan alu Syaikh dan Syaikh Abdul Aziz as Sadhan. Mereka semua bersepakat untuk memberikan jawaban sebagai berikut:
“وجوب التعاون بين جميع المنتسبين لأهل السنة.
وعلى الدفاع عن النفس والعرض والمال إذا تمَّ التعرض لهم.
وعلى كفِّ اليد ما لم تكن هناك راية، وما لم تُعد العدة.
وعلى لزوم الدعوة إلى الله ونشر العقيدة الصحيحة بين الناس.
وعلى عدم إثارة أي طرف عليهم.
وعلى أن ينظِّموا صفوفهم وأن تتحد كلمتهم.
وعلى أن يكونوا حذرين ممنْ حولهم.
ولا مانع أن يجعلوا لهم أميرا”.
Wajibnya tolong menolong di antara semua orang yang menyatakan dirinya sebagai bagian dari ahli sunnah.
Wajibnya mana kala nyawa, kehormatan dan harta diganggu.
Tidak berperang selama belum ada komandan yang legal secara syariat dan perlengkapan senjata belum disiapkan dengan baik.
Wajibnya terus giat mendakwahkan agama Allah dan menebarkan akidah yang benar di tengah-tengah masyarakat.
Wajib tidak melakukan tindakan yang memancing kebrutalan pihak tertentu terhadap ahlu sunnah.
Wajibnya menata barisan dan menyamakan presepsi.
Wajib mewaspadai orang-orang di sekeliling mereka.
Tidaklah mengapa mengangkat seseorang sebagai ketua ahli sunnah”.
Sekali lagi kami tegaskan bahwa ini semua dilakukan dalam kerangka musyawarah bersama para ulama.
Ketiga, memang benar bahwa salafi melarang pembentukan partai politik dan keagamaan di negeri kaum muslimin yang dipimpin oleh seorang penguasa muslim. Salafi melarang hal tersebut karena beberapa alasan. Di antara alasan pokoknya adalah sebagai berikut:
Pertama, terpecahnya kaum muslimin menjadi berbagai aliran keagamaan atau pun berbagai partai politik adalah fenomena yang memilukan sekaligus perilaku yang terlarang karena bertabrakan dengan berbagai ayat al Qur’an dan berbagai hadits Nabi di antaranya:
{وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا} ,
Yang artinya, “Berpegang teguhlah kalian semua dengan agama Allah dan janganlah kalian berpecah belah” [QS ali Imran:103]
وقوله سبحانه : {إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا لَسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ} الآية
Yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka terbagi menjadi beberapa kelompok sama sekali engkau bukanlah bagian dari mereka” [QS al An’am:159].
وقوله سبحانه قال الله تعالى: {إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أمة وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ]} ,
Yang artinya, “Sesungguhnya umat ini adalah umat yang satu. Aku adalah sesembahan kalian maka sembahlah aku” [QS al Anbiya:92]
وفي الآية الأخرى : {وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُون} ,
Dalam ayat yang lain, “Dan aku adalah Rabb kalian maka bertakwalah kalian kepadaku” [QS al Mukminun:52].
وقال تعالى: {وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ وَأُولَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ}.
Yang artinya, “Dan janganlah kalian seperti orang-orang yang berpecah belah dan berselisih setelah sampai kepada mereka berbagai bukti yang nyata. Untuk mereka siksaan yang besar” [QS Ali Imran:105].
Kedua, membentuk berbagai partai politik yang memiliki tujuan pokok menjadi oposisi pemerintah adalah tindakan yang berlawanan dengan prinsip taat kepada penguasa muslim selama dalam bingkai ketaatan kepada Allah dan rasul-Nya. Di samping itu, juga bertolak belakang dengan berbagai dalil yang mengharamkan tindakan membangkang kepada penguasa dan taat kepada Allah, rasul-Nya dan penguasa, bukan selainnya.
Ketiga, konsekuensi dari masuk ke dalam dunia politik praktis dan membentuk berbagai partai politik adalah membicarakan berbagai permasalahan yang menjadi kewenangan penguasa dengan tujuan menyalahkan kebijakan penguasa lalu menyebarluaskan kesalahan penguasa tersebut. Tentu saja, sikap ini sangat jauh dari sikap menginginkan kebaikan untuk penguasa. Sehingga tindakan ini bertolak belakang dengan berbagai dalil syariat.
Oleh karena itu para ulama dakwah salafiyyah menolak pembentukan partai politik. Barang siapa yang memiliki ‘catatan’ terhadap kebijakan pemerintah maka hendaklah dia menyampaikan nasihat dengan baik. Jika nasihat diterima, maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, yang penting dia telah melaksanakan apa yang menjadi kewajibannya. Mengumbar sikap pemerintah yang tidak menerima kritikan adalah tindakan membuka lebar-lebar pintu keburukan.
Referensi:
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=125296#post125296

Powered By Facebook

Sabtu, 17 Desember 2011

INILAH YANG MENJADI TUNGGANGAN MEREKA(SYI'AH DAN KRONI2NYA)

Buku-buku Penggugat Wahabi, Ditunggangi Syi’ah dan Sepilis


Tentu kita penasaran, siapakah sesungguhnya Syaikh Idahram, penulis buku Trilogi Data dan Fakta Penyimpangan Salafi Wahabi (Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi, Mereka Memalsukan Kitab-kitab Karya Ulama Klasik, dan Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi) yang kata pengatarnya ditulis oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul (PBNU) Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, MA.
Saat voa-islam menanyakan jati diri Syaikh Idahram kepada KH. Said Agil Siraj yang ditemui usai Wokshop Deradikalisasi Agama Berbasis Kyai/Nyai dan Pesantren yang digelar oleh Muslimat NU di Park Hotel, Jakarta, tidak mau menjawab secara jelas, siapa sesungguhnya Syaikh Idahram.  Kiai NU itu hanya menjawab ringkas, “Yang jelas, dia adalah bimbingan saya. Saya lah yang membimbing penulis buku itu,” kata Said Agil.
Di dalam biodata penulis buku Ulama Sejagad Menggugat Salafi Wahabi, Syaikh Idahram adalah sosok pemerhati gerakan-gerakan Islam, lahir di Tanah Jawa, pada tahun 1970-an. Ketertarikannya terhadap fenomena Salafi Wahabi terpupuk sejak ia melanglang buana dan belajar ke Timur Tengah,bertalaqqi kepada para masyayikh di sana dan berdiskusi dengan para ustadz.
Dalam upaya pencariannya itu, Syaikh Idahram pernah menjadi anggota organisasi Muhammadiyah beberapa tahun, aktif dalamliqa’ PKS (Partai Keadilan Sejahtera) selama 4 tahun, pengurus kajian Hizbut Tahrir selama 2 tahun, pejabat teras ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), hingga akhirnya berlabuh dan basah kuyub dalam tasawuf dengan berba’iat kepada seorang syaikh.
Maraknya gerakan Islam garis keras di Indonesia, serta dorongan dari berbagai pihak, membuat Idahram memutuskan untuk menuliskan apa yang diamatinya selama ini tentang Salafi Wahabi. Ia sempat ragu ketika beberapa kawan mengingatkannya tentang terror yang kerap kali terjadi terhadap para pengkritik faham ini. Akan tetapi atas rekomendasi dari para masyayikh, penulis akhirnya memutuskan utnuk tetap menuliskan penelitiannya debgan menyiasati penggunaan nama pena, yaitu Syaikh Idahram.
Menurut pengakuannya, buku Trilogi data dan Fakta Penyimpangan sekte Salafi Wahabi ini lahir sebagai titik kulminasi dari rasa prihatin penulis terhadap persatuan dan ukhuwah umat Islam yang saat ini sangat meradang dan hanya tinggal wacana. Hingga akhirnya, pencarian dan penelitian yang dilakukannya selama 9 tahun, mulai 2001-2010, membuahkan hasil ketiga buku trilogi penyimpangan salafi wahabi tersebut. Sang Penulis, Syaikh Idahram secara terbuka membuka ruang dialog melaui e-mail: salafiasli@yahoo.com .
Ditunggangi Syiah dan Sepilis
Yang menarik, Abu Muhammad Waskito, penulis buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi: Bantahan Kritis dan Fundamental Terhadap Buku Propaganda Karya Syaikh Idahram” (Penerbit : Pustaka Al-Kautsar), menduga Syaikh Idahram adalah sosok Abu Salafy yang sering nongol di dunia maya di Tanah Air. Jika di online memakai nama Abu Salafu, sedangkan di buku memakai nama Syaikh Idahram.
Abu Salafy ini punya sebuah blog propaganda yang mayoritas isinya menghujat dakwah Salafiyah, menghina ulama-ulama Ahlu Sunnah, seperti Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim; menghina ulama wahabi, seperti Syaikh Muhammad At-Tamimi, Syaikh Ibnu Baz, Syaikh Albani dan sebagainya.
Mengapa AM Waskito menganggap Abu Salafy adalah sosok Idahram? “Karena  keduanya memiliki banyak kesamaan, yakni sama-sama menghujat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab.
Belakangan beredar informasi di internet bahwa sosok Syaikh Idahram bernama asli Marhadi Muhayyar, namun info ini belum mendapat kepastian, mengingat yang bersangkutan tak pernah secara gentle tampil ke public.
AM Waskito dalam bukunya “Bersikap Adil kepada Wahabi” (Pustaka Al Kautsar), juga mencurigai, sosok Syaikh Idahram, penulis buku Trilogi Penyimpangan Salafi Wahabi tersebut adalah seorang penganut akidah Syiah atau minimal pendukung Syiah. Meskipun dia tidak mengucapkan pengakuan atas akidahnya, tetapi hal itu bisa dibuktikan dari perkataan-perkataan dia sendiri dalam bukunya. Bukan hanya itu, Waskito mencium aroma, ketiga buku tulisan Syaikh Idahram ditunggangi oleh kepentingan kaum Syiah dan Sepilis (Sekulerisme, Pluralisme, dan Liberalisme).
Bukti kesyiahan Syaikh Idahram, menurut pengamatan Waskito diantaraya: Si penulis menyebut Kota Najaf di Irak sebagai Najaf Al-Asyraf. Sebutan semacam ini hanya dikenal di kalangan Syiah, bukan Ahlu Sunnah.
Kemudian, Syaikh Idahram juga menyebutkan bahwa dalam Islam setidaknya ada tujuh madzhab, yaitu: Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hambali; ditambah dua madzhab: Syiah, Ja’fari dan Imamiyah; ditambah 1 madzhab Zhahiri. Perkataan seperti ini tidak dikenal dikalangan Ahlu Sunnah. Yang jelas, tidak sedikit, Syaikh Idahram menggunakan referensi dari kaum Syiah.
Sejak awal, AM Waskito menduga posisi Said Agil Siraj bukan hanya sebagai pemberi kata pengantar. “Bisa jadi, dia terlibat langsung di balik proyek penerbitan buku-buku propaganda itu,” ungkapnya curiga.
Dan benar saja, KH. Said Agil Siraj kepada voa-Islam mengakui, bahwa buku yang ditulis Syaikh Idahram adalah atas bimbingannya. “Saya lah yang membimbing penulisnya,” kata Said Agil terus terang. [voa].

Powered By Facebook

Selasa, 06 Desember 2011

Peristiwa Bi’r Ma’unah dan Awal Mula Qunut Nazilah


penulis Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar
Syariah Jejak 04 - Mei - 2006 19:02:55
Sebuah peristiwa tragis kembali menimpa kaum muslimin. 70 shahabat pilihan yg merupakan para qurra` dibantai dgn hanya menyisakan satu orang saja. Peristiwa ini mengguratkan kesedihan yg mendalam pada diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliaupun mendoakan kejelekan kepada para pelaku selama satu bulan penuh. Inilah awal mula ada Qunut namun tentu saja bukan seperti yg dipahami oleh masyarakat kebanyakan di mana dilakukan terus menerus tiap Shalat Shubuh.
Pada bulan Shafar tahun keempat hijriah peristiwa ini terjadi. Ketika itu datang Abu Barra` ‘Amir bin Malik menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah kemudian oleh beliau diajak kepada Islam. Ia tdk menyambut namun juga tdk menunjukkan sikap penolakan.
Kemudian dia berkata: “Wahai Rasulullah seandai engkau mengutus shahabat-shahabatmu kepada penduduk Najd utk mengajak mereka kepada Islam aku berharap mereka akan menyambutnya.”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata: “Aku mengkhawatirkan perlakuan penduduk Najd atas mereka.” Tapi kata Abu Barra`: “Aku yg menjamin mereka.”
Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus 70 orang shahabat ahli baca Al-Qur`an termasuk pemuka kaum muslimin pilihan. Mereka tiba di sebuah tempat bernama Bi`r Ma’unah sebuah daerah yg terletak antara wilayah Bani ‘Amir dan kampung Bani Sulaim. Setiba di sana mereka mengutus Haram bin Milhan saudara Ummu Sulaim bintu Milhan membawa surat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Amir bin Thufail. Namun ‘Amir bin Thufail tdk menghiraukan surat itu bahkan memberi isyarat agar seseorang membunuh Haram. Ketika orang itu menikamkan tombak dan Haram melihat darah dia berkata: “Demi Rabb Ka’bah aku beruntung.”
Kemudian ‘Amir bin Thufail menghasut orang2 Bani ‘Amir agar memerangi rombongan shahabat lain namun mereka menolak krn ada perlindungan Abu Barra`. Diapun menghasut Bani Sulaim dan ajakan ini disambut oleh ‘Ushaiyyah Ri’l dan Dzakwan. Merekapun datang mengepung para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu membunuh mereka kecuali Ka’b bin Zaid bin An-Najjar yg ketika itu terluka dan terbaring bersama jenazah lainnya. Dia hidup hingga terjadi peristiwa Khandaq.
Ibnu Hajar rahimahullahu dlm Fathul Bari juga memaparkan kisah yg disebutkan Al-Imam Al-Bukhari dlm Shahih- antara lain beliau mengatakan:
“Bahwasa ada perjanjian antara kaum musyrikin dgn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka adl kelompok yg tdk ikut memerangi beliau. Diceritakan oleh Ibnu Ishaq dari para guru demikian pula oleh Musa bin ‘Uqbah dari Ibnu Syihab bahwa yg mengadakan perjanjian dgn beliau adl Bani ‘Amir yg dipimpin oleh Abu Barra` ‘Amir bin Malik bin Ja’far si Pemain Tombak. Sedangkan kelompok lain adl Bani Sulaim. Dan ‘Amir bin Thufail ingin mengkhianati perjanjian dgn para shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Diapun menghasut Bani ‘Amir agar memerangi para shahabat namun Bani ‘Amir menolak kata mereka: “Kami tdk akan melanggar jaminan yg diberikan Abu Barra`.” Kemudian dia menghasut ‘Ushaiyyah dan Dzakwan dari Bani Sulaim dan mereka mengikuti membunuh para shahabat..” demikian secara ringkas.
Akhir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut selama sebulan mendoakan kejelekan terhadap orang2 yg membunuh para qurra` shahabat-shahabat beliau di Bi`r Ma’unah. Belum pernah para shahabat melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu berduka dibandingkan ketika mendengar berita ini.
Al-Imam Al-Bukhari menceritakan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
قَنَتَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَهْرًا حِيْنَ قُتِلَ الْقُرَّاءُ، فَمَا رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَزِنَ حُزْنًا قَطُّ أَشَدَّ مِنْهُ
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama satu bulan ketika para qurra` itu terbunuh. Dan aku belum pernah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu berduka dibandingkan ketika kejadian tersebut.”
Ibnu Jarir meriwayatkan pula dlm Tarikh- sebagaimana dinukil oleh Ibnul Qayyim dlm Zadul Ma’ad bahwa pada saat pembantaian tersebut ‘Amr bin Umayyah Adh-Dhamari dan Al-Mundzir bin ‘Uqbah bin ‘Amir tinggal di pekarangan kaum muslimin. Mereka tdk mengetahui ada peristiwa pembantaian itu melainkan krn ada burung-burung yg mengitari tempat kejadian tersebut. Akhir mereka melihat kenyataan yg memilukan tersebut.
Mereka berembug apa yg mesti dilakukan. ‘Amr bin Umayyah berpendapat sebaik mereka kembali utk menceritakan kejadian pahit ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun Al-Mundzir menolak dan lbh suka turun menyerang kaum musyrikin. Diapun turun dan menyerang hingga terbunuh pula. Akhir ‘Amr tertawan namun ketika dia menyebutkan bahwa dia berasal dari kabilah Mudhar ‘Amir memotong ubun-ubun dan membebaskannya.
‘Amr bin Umayyah pun pulang ke Madinah. Setiba di Al-Qarqarah sebuah wilayah dekat Al-Arhadhiyah sekitar 8 pos dari Madinah dia berhenti berteduh di bawah sebuah pohon. Kemudian datanglah dua laki2 Bani Kilab dan turut berteduh di tempat itu juga. Ketika kedua tertidur ‘Amr menyergap mereka dan dia beranggapan bahwa ia telah membalaskan dendam para shahabatnya. Ternyata kedua mempunyai ikatan perjanjian dgn Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg tdk disadarinya. Setelah tiba di Madinah dia ceritakan semua kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau pun berkata:
لَقَدْ قَتَلْتَ قَتِيْلَيْنِ َلأَدِيَنَّهُمَا
“Sungguh kamu telah membunuh mereka berdua tentu saya akan tebus keduanya.”1
Inilah antara lain yg juga menjadi penyebab terjadi perang Bani An-Nadhir yg akan dikisahkan pada edisi mendatang Insya Allah.
Dari kisah ini ulama menyimpulkan bahwa qunut yg dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah qunut nazilah. Dan itupun beliau lakukan selama satu bulan mendoakan kejelekan terhadap Bani Lihyan ‘Ushaiyyah dan lain-lain. Bukan terus-menerus sebagaimana dilakukan sebagian kaum muslimin hari ini.
Ini diriwayatkan juga oleh Al-Imam Ahmad dan lain dari hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَنَتَ شَهْرًا ثُمَّ تَرَكَهُ
“Bahwasa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam qunut selama satu bulan lalu meninggalkannya.”
Demikian pula yg disimpulkan oleh Ibnul Qayyim dlm pembahasan masalah qunut ini lihat kitab Zaadul Ma’ad .
Terakhir beliau mengatakan bahwa yg diriwayatkan dari shahabat tentang qunut ini ada dua yaitu:
a. Qunut ketika ada musibah atau bencana yg menimpa seperti qunut yg dilakukan Ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu ketika para shahabat memerangi Musailamah Al-Kadzdzab dan ahli kitab. Juga qunut yg dilakukan ‘Umar dan ‘Ali ketika menghadapi pasukan Mu’awiyah dan penduduk Syam.
b. Qunut yg mutlak yg dimaksud adl memanjangkan rukun shalat utk berdoa dan memuji Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wallahu a’lam.
1 Lihat Tarikh Ath-Thabari 2/81 Tafsir Ibnu Katsir 1/429 4/332.
Sumber: www.asysyariah.com

Powered By Facebook

PEMBATAL-PEMBATAL KEISLAMAN [1]

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Ahlus Sunnah wal Jama’ah meyakini adanya perkara-perkara yang dapat membatalkan keislaman seseorang. Berikut ini akan kami sebutkan sebagiannya:

1. Menyekutukan Allah (syirik).
Yaitu menjadikan sekutu atau menjadikannya sebagai perantara antara dirinya dengan Allah. Misalnya berdo’a, memohon syafa’at, bertawakkal, beristighatsah, bernadzar, menyembelih yang ditujukan kepada selain Allah, seperti menyembelih untuk jin atau untuk penghuni kubur, dengan keyakinan bahwa para sesembahan selain Allah itu dapat menolak bahaya atau dapat mendatangkan manfaat.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَٰلِكَ لِمَن يَشَاءُ

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya...” [An-Nisaa': 48]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُ مَن يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ ۖ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنصَارٍ

“... Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya Surga, dan tempatnya adalah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun.” [Al-Maa-idah: 72]

2. Orang yang membuat perantara antara dirinya dengan Allah, yaitu dengan berdo’a, memohon syafa’at, serta bertawakkal kepada mereka.
Perbuatan-perbuatan tersebut termasuk amalan kekufuran menurut ijma’ (kesepakatan para ulama).

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

قُلِ ادْعُوا الَّذِينَ زَعَمْتُم مِّن دُونِهِ فَلَا يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضُّرِّ عَنكُمْ وَلَا تَحْوِيلًا أُولَٰئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىٰ رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ ۚ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا

“Katakanlah: ‘Panggillah mereka yang kamu anggap (sekutu) selain Allah, maka tidaklah mereka memiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula dapat memindahkannya.’ Yang mereka seru itu mencari sendiri jalan yang lebih dekat menuju Rabb-nya, dan mereka mengharapkan rahmat serta takut akan adzab-Nya. Sesungguhnya adzab Rabb-mu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti.” [Al-Israa': 56-57][2]

3. Tidak mengkafirkan orang-orang musyrik, atau meragukan kekafiran mereka, atau membenarkan pendapat me-reka.
Yaitu orang yang tidak mengkafirkan orang-orang kafir -baik dari Yahudi, Nasrani maupun Majusi-, orang-orang musyrik, atau orang-orang mulhid (Atheis), atau selain itu dari berbagai macam kekufuran, atau ia meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, maka ia telah kafir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam...” [Ali ‘Imran: 19][3]

Termasuk juga seseorang yang memilih kepercayaan selain Islam, seperti Yahudi, Nasrani, Majusi, Komunis, sekularisme, Masuni, Ba’ats atau keyakinan (kepercayaan) lainnya yang jelas kufur, maka ia telah kafir.

Juga firman-Nya:

وَمَن يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَن يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) darinya, dan di akhirat ia termasuk orang-orang yang rugi.” [Ali ‘Imran: 85]

Hal ini dikarenakan Allah Ta’ala telah mengkafirkan mereka, namun ia menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, ia tidak mau mengkafirkan mereka, atau meragukan kekufuran mereka, atau ia membenarkan pendapat mereka, sedangkan kekufuran mereka itu telah menentang Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ فِي نَارِ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ أُولَٰئِكَ هُمْ شَرُّ الْبَرِيَّةِ

“Sesungguhnya orang-orang kafir, yakni Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke Neraka Jahannam; mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” [Al-Bayyinah: 6]

Yang dimaksud Ahlul Kitab adalah orang-orang Yahudi dan Nasrani, sedangkan kaum musyrikin adalah orang-orang yang menyembah ilah yang lain bersama Allah.[4]

4. Meyakini adanya petunjuk yang lebih sempurna dari Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Orang yang meyakini bahwa ada petunjuk lain yang lebih sempurna dari petunjuk Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, atau orang meyakini bahwa ada hukum lain yang lebih baik daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, seperti orang-orang yang lebih memilih hukum-hukum Thaghut daripada hukum Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia telah kafir.

Termasuk juga di dalamnya adalah orang-orang yang meyakini bahwa peraturan dan undang-undang yang dibuat manusia lebih afdhal (utama) daripada sya’riat Islam, atau orang meyakini bahwa hukum Islam tidak relevan (sesuai) lagi untuk diterapkan di zaman sekarang ini, atau orang meyakini bahwa Islam sebagai sebab ketertinggalan ummat. Termasuk juga orang-orang yang berpendapat bahwa pelaksanaan hukum potong tangan bagi pencuri, atau hukum rajam bagi orang yang (sudah menikah lalu) berzina sudah tidak sesuai lagi di zaman sekarang.

Juga orang-orang yang menghalalkan hal-hal yang telah diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam berdasarkan dalil-dalil syar’i yang telah tetap, seperti zina, riba, meminum khamr, dan berhukum dengan selain hukum Allah atau selain itu, maka ia telah kafir berdasarkan ijma’ para ulama.

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ ۚ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliyyah yang mereka kehendaki? Dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” [Al-Maa-idah: 50]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

“... Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang yang kafir.” [Al-Maa-idah: 44]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ

“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 45]

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ

“... Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik.” [Al-Maa-idah: 47]

5. Tidak senang dan membenci hal-hal yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, meskipun ia melaksanakannya, maka ia telah kafir.
Yaitu orang yang marah, murka, atau benci terhadap apa-apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, walaupun ia melakukannya, maka ia telah kafir.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا فَتَعْسًا لَّهُمْ وَأَضَلَّ أَعْمَالَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ كَرِهُوا مَا أَنزَلَ اللَّهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Dan orang-orang yang kafir, maka kecelakaanlah bagi mereka dan Allah menghapus amal-amal mereka. Yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka benci kepada apa yang di-turunkan Allah (Al-Qur-an), lalu Allah menghapuskan (pahala-pahala) amal-amal mereka.” [Muhammad: 8-9]

Juga firman-Nya:

إِنَّ الَّذِينَ ارْتَدُّوا عَلَىٰ أَدْبَارِهِم مِّن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْهُدَى ۙ الشَّيْطَانُ سَوَّلَ لَهُمْ وَأَمْلَىٰ لَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمْ قَالُوا لِلَّذِينَ كَرِهُوا مَا نَزَّلَ اللَّهُ سَنُطِيعُكُمْ فِي بَعْضِ الْأَمْرِ ۖ وَاللَّهُ يَعْلَمُ إِسْرَارَهُمْ فَكَيْفَ إِذَا تَوَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ يَضْرِبُونَ وُجُوهَهُمْ وَأَدْبَارَهُمْ ذَٰلِكَ بِأَنَّهُمُ اتَّبَعُوا مَا أَسْخَطَ اللَّهَ وَكَرِهُوا رِضْوَانَهُ فَأَحْبَطَ أَعْمَالَهُمْ

“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (murtad) setelah jelas petunjuk bagi mereka, syaithan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka (orang-orang munafik) itu berkata kepada orang-orang yang benci kepada apa yang diturunkan Allah (orang-orang Yahudi): ‘Kami akan mematuhimu dalam beberapa urusan,’ sedangkan Allah mengetahui rahasia mereka. Bagaimanakah (keadaan mereka) apabila Malaikat (maut) mencabut nyawa mereka seraya memukul muka dan punggung mereka. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka mengikuti apa yang menimbulkan kemurkaan Allah dan (karena) mereka membenci (apa yang menimbulkan) keridhaan-Nya; sebab itu Allah menghapus (pahala) amal-amal mereka.” [Muhammad: 25-28]

6. Menghina Islam
Yaitu orang yang mengolok-olok (menghina) Allah dan Rasul-Nya, Al-Qur-an, agama Islam, Malaikat atau para ulama karena ilmu yang mereka miliki. Atau menghina salah satu syi’ar dari syi’ar-syi’ar Islam, seperti shalat, zakat, puasa, haji, thawaf di Ka’bah, wukuf di ‘Arafah atau menghina masjid, adzan, memelihara jenggot atau Sunnah-Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam lainnya, dan syi’ar-syi’ar agama Allah pada tempat-tempat yang disucikan dalam keyakinan Islam serta terdapat keberkahan padanya, maka dia telah kafir.

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَئِن سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ ۚ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ ۚ إِن نَّعْفُ عَن طَائِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَائِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُوا مُجْرِمِينَ

“… Katakanlah: ‘Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?’ Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman. Jika Kami memaafkan segolongan dari kamu (lantaran mereka taubat), niscaya Kami akan mengadzab golongan (yang lain) di sebabkan mereka adalah orang-orang yang selalu berbuat dosa.” [At-Taubah: 65-66]

Dan firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّىٰ يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ ۚ وَإِمَّا يُنسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَىٰ مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ

“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaithan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang zhalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” [Al-An’aam: 68]

7. Melakukan Sihir
Yaitu melakukan praktek-praktek sihir, termasuk di dalamnya ash-sharfu dan al-‘athfu.
Ash-sharfu adalah perbuatan sihir yang dimaksudkan dengannya untuk merubah keadaan seseorang dari apa yang dicintainya, seperti memalingkan kecintaan seorang suami terhadap isterinya menjadi kebencian terhadapnya.

Adapun al-‘athfu adalah amalan sihir yang dimaksudkan untuk memacu dan mendorong seseorang dari apa yang tidak dicintainya sehingga ia mencintainya dengan cara-cara syaithan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ

“...Sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan: ‘Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir...’” [Al-Baqarah: 102]

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَائِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ.

‘Sesungguhnya jampi, jimat dan tiwalah (pelet) adalah perbuatan syirik.’” [5]

8. Memberikan pertolongan kepada orang kafir dan membantu mereka dalam rangka memerangi kaum Muslimin

Allah Ta’ala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَىٰ أَوْلِيَاءَ ۘ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ ۗ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin bagimu; sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu yang menjadikan mereka sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zhalim.” [Al-Maa-idah: 51][6]

Juga firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِّنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang yang membuat agamamu menjadi buah ejekan dan permainan sebagai pemimpin, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu dan dari orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertawakkallah kepada Allah jika kamu benar-benar orang yang beriman.” [Al-Maa-idah: 57]

9. Meyakini bahwa manusia bebas keluar dari syari’at Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Yaitu orang yang mempunyai keyakinan bahwa sebagian manusia diberikan keleluasaan untuk keluar dari sya’riat (ajaran) Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana Nabi Khidir dibolehkan keluar dari sya’riat Nabi Musa Alaihissallam, maka ia telah kafir.

Karena seorang Nabi diutus secara khusus kepada kaumnya, maka tidak wajib bagi seluruh menusia untuk mengikutinya. Adapun Nabi kita, Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam diutus kepada seluruh manusia secara kaffah (menyeluruh), maka tidak halal bagi manusia untuk menyelisihi dan keluar dari syari’at beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah Ta’ala berfirman:

قُلْ يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنِّي رَسُولُ اللَّهِ إِلَيْكُمْ جَمِيعًا

“Katakanlah: ‘Hai manusia, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua...’” [Al-A’raaf: 158]

Dan Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِّلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَٰكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada ummat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” [Saba’: 28]

Juga firman-Nya:

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

“Dan tidaklah Kami mengutusmu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” [Al-Anbiyaa': 107]

Allah Ta’ala berfirman:

أَفَغَيْرَ دِينِ اللَّهِ يَبْغُونَ وَلَهُ أَسْلَمَ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ طَوْعًا وَكَرْهًا وَإِلَيْهِ يُرْجَعُونَ

“Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal kepada-Nya-lah berserah diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan.” [Ali ‘Imran: 83]

Dan dalam hadits disebutkan:

وَاللهِ، لَوْ أَنَّ مُوْسَى حَيًّا لَمَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِيْ.

“Demi Allah, jika seandainya Musa q hidup di tengah-tengah kalian, niscaya tidak ada keleluasaan baginya kecuali ia wajib mengikuti syari’atku.”[7]

10. Berpaling dari agama Allah Ta’ala, ia tidak mempelajarinya dan tidak beramal dengannya.
Yang dimaksud dari berpaling yang termasuk pembatal dari pembatal-pembatal keislaman adalah berpaling dari mempelajari pokok agama yang seseorang dapat dikatakan Muslim dengannya, meskipun ia jahil (bodoh) terhadap perkara-perkara agama yang sifatnya terperinci. Karena ilmu terhadap agama secara terperinci terkadang tidak ada yang sanggup melaksanakannya kecuali para ulama dan para penuntut ilmu.

Firman Allah Ta’ala:

وَالَّذِينَ كَفَرُوا عَمَّا أُنذِرُوا مُعْرِضُونَ

“... Dan orang-orang yang kafir berpaling dari apa yang diperingatkan kepada mereka.” [Al-Ahqaaf: 3]

Firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن ذُكِّرَ بِآيَاتِ رَبِّهِ ثُمَّ أَعْرَضَ عَنْهَا ۚ إِنَّا مِنَ الْمُجْرِمِينَ مُنتَقِمُونَ

“Dan siapakah yang lebih zhalim daripada orang yang telah diperingatkan dengan ayat-ayat Rabb-nya, kemudian ia berpaling daripadanya. Sesungguhnya Kami akan memberikan pembalasan kepada orang-orang yang berdosa.” [As-Sajdah: 22]

Firman Allah Ta’ala:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ

“Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” [Thaahaa: 124]

Yang mulia ‘Allamah asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah Alusy Syaikh ketika memulai Syarah Nawaaqidhil Islaam, beliau berkata: “Setiap Muslim harus mengetahui bahwa membicarakan pembatal-pembatal keislaman dan hal-hal yang menyebabkan kufur dan kesesatan termasuk dari perkara-perkara yang besar dan penting yang harus dijalani sesuai dengan Al-Qur-an dan As-Sunnah. Tidak boleh berbicara tentang takfir dengan mengikuti hawa nafsu dan syahwat, karena bahayanya yang sangat besar. Sesungguhnya seorang Muslim tidak boleh dikafirkan dan dihukumi sebagai kafir kecuali sesudah ditegakkan dalil syar’i dari Al-Qur-an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebab jika tidak demikian orang akan mudah mengkafirkan manusia, fulan dan fulan, dan menghukuminya dengan kafir atau fasiq dengan mengikuti hawa nafsu dan apa yang diinginkan oleh hatinya. Sesungguhnya yang demikian termasuk perkara yang diharamkan.

Allah berfirman:

فَضْلًا مِّنَ اللَّهِ وَنِعْمَةً ۚ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

“Sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” [Al-Hujuraat: 8]

Maka, wajib bagi setiap Muslim untuk berhati-hati, tidak boleh melafazhkan ucapan atau menuduh seseorang dengan kafir atau fasiq kecuali apa yang telah ada dalilnya dari Al-Qur-an dan As-Sunnah. Sesungguhnya perkara takfir (menghukumi seseorang sebagai kafir) dan tafsiq (menghukumi seseorang sebagai fasiq) telah banyak membuat orang tergelincir dan mengikuti pemahaman yang sesat. Sesungguhnya ada sebagian hamba Allah yang dengan mudahnya mengkafirkan kaum Muslimin hanya dengan suatu perbuatan dosa yang mereka lakukan atau kesalahan yang mereka terjatuh padanya, maka pemahaman takfir ini telah membuat mereka sesat dan keluar dari jalan yang lurus.” [8]

Imam asy-Syaukani (Muhammad bin ‘Ali asy-Syaukani, hidup tahun 1173-1250 H) rahimahullah berkata: “Menghukumi seorang Muslim keluar dari agama Islam dan masuk dalam kekufuran tidak layak dilakukan oleh seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, melainkan dengan bukti dan keterangan yang sangat jelas -lebih jelas daripada terangnya sinar matahari di siang hari-. Karena sesungguhnya telah ada hadits-hadits yang shahih yang diriwayatkan dari beberapa Sahabat, bahwa apabila seseorang berkata kepada saudaranya: ‘Wahai kafir,’ maka (ucapan itu) akan kembali kepada salah seorang dari keduanya. Dan pada lafazh lain dalam Shahiihul Bukhari dan Shahiih Muslim dan selain keduanya disebutkan, ‘Barangsiapa yang memanggil seseorang dengan kekufuran, atau berkata musuh Allah padahal ia tidak demikian maka akan kembali kepadanya.’

Hadits-hadits tersebut menunjukkan tentang besarnya ancaman dan nasihat yang besar, agar kita tidak terburu-buru dalam masalah kafir mengkafirkan.” [9]

Pembatal-pembatal keislaman yang disebutkan di atas adalah hukum yang bersifat umum. Maka, tidak diperbolehkan bagi seseorang tergesa-gesa dalam menetapkan bahwa orang yang melakukannya langsung keluar dari Islam. Sebagaimana Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: “Sesungguhnya pengkafiran secara umum sama dengan ancaman secara umum. Wajib bagi kita untuk berpegang kepada kemutlakan dan keumumannya. Adapun hukum kepada orang tertentu bahwa ia kafir atau dia masuk Neraka, maka harus diketahui dalil yang jelas atas orang tersebut, karena dalam menghukumi seseorang harus terpenuhi dahulu syarat-syaratnya serta tidak adanya penghalang.” [10]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Syarat-syarat seseorang dapat dihukumi sebagai kafir adalah:
1. Mengetahui (dengan jelas),
2. Dilakukan dengan sengaja, dan
3. Tidak ada paksaan.

Sedangkan intifaa-ul mawaani’ (penghalang-penghalang yang menjadikan seseorang dihukumi kafir ) yaitu kebalikan dari syarat tersebut di atas: (1) Tidak mengetahui, (2) tidak disengaja, dan (3) karena dipaksa. [11]

[Disalin dari kitab Syarah Aqidah Ahlus Sunnah Wal Jama'ah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Pustaka Imam Asy-Syafi'i, Po Box 7803/JACC 13340A Jakarta, Cetakan Ketiga 1427H/Juni 2006M]
_______
Footnote
[1]. Pembahasan ini dinukil dari Silsilah Syarhil Rasaa-il lil Imaam al-Mujaddid Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab v (hal. 209-238) oleh Dr. Shalih bin Fauzan bin ‘Abdillah al-Fauzan, cet. I, th. 1424 H; Majmuu’ Fataawaa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah lisy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin ‘Abdirrahman bin Baaz v (I/130-132) dikumpulkan oleh Dr. Muhammad bin Sa’d asy-Syuwai’ir, cet. I/ Darul Qasim, th. 1420 H; al-Qaulul Mufiid fii Adillatit Tauhiid (hal. 45-53) oleh Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhab bin ‘Ali al-Yamani al-Washabi al-‘Abdali, cet. VII/ Maktabah al-Irsyad Shan’a, th. 1422 H; dan at-Tanbiihatul Mukhtasharah Syarhil Waajibaat al-Mutahattimaat al-Ma’rifah ‘alaa Kulli Muslim wa Muslimah (hal. 63-82) oleh Ibrahim bin asy-Syaikh Shalih bin Ahmad al-Khurasyi, cet. I/ Daar ash-Shuma’i, th. 1417 H.
[2]. Lihat juga QS. Saba’: 22-23 dan az-Zumar: 3.
[3]. Lihat juga QS. Al-Baqarah: 217, al-Maa-idah: 54, Muhammad: 25-30,
[4]. Lihat QS. Al-Maa-idah: 17, al-Maa-dah: 54, al-Maa-idah: 72-73, an-Nisaa': 140, al-Baqarah: 217, Muhammad: 25-30,
[5]. Diriwayatkan oleh Abu Dawud (no. 3883) dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam Shahiihul Jaami’ (no. 1632) dan Silsilah ash-Shohiihah (no. 331). Hadits ini juga diriwayatkan oleh al-Hakim (IV/217), Ibnu Majah (no. 3530), Ahmad (I/381), ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabiir (X/262), Ibnu Hibban (XIII/456) dan al-Baihaqi (IX/350).
[6]. Lihat QS. Ali ‘Imran: 100-101 dan QS. Mumtahanah: 13.
[7]. Dihasankan oleh Syaikh al-Albani dalam al-Irwaa’ (VI/34, no. 1589) dan ia menyebutkan delapan jalan dari hadits tersebut. Dan jalan ini telah disebutkan oleh Ibnu Katsir dalam Tafsiirnya pada ayat 81 dan 82 dari surat Ali ‘Imran.
[8]. Dinukil dari at-Tabshiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44) oleh Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali ‘Abdul Hamid al-Halabi.
[9]. Sailul Jarraar al-Mutadaffiq ‘alaa Hadaa-iqil Az-haar (IV/578).
[10]. Majmuu’ Fataawaa (XII/498) oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.
[11]. Lihat Majmuu’ Fataawaa (XII/498), Mujmal Masaa-ilil Iimaan wal Kufr al-‘Ilmiy-yah fii Ushuulil ‘Aqiidah as-Salafiyyah (hal. 28-35, cet. II, th. 1424 H) dan at-Tab-shiir bi Qawaa-idit Takfiir (hal. 42-44).

Powered By Facebook

Senin, 21 November 2011

SOSOK IMAM AHMAD BIN HAMBAL


Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata: “Ahmad bin Hanbal adalah seorang tauladan dalam 8 hal: tauladan dalam bidang hadits, fiqih, bahasa arab, Al-Qur’an, kefakiran, zuhud, wara’ dan dalam berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu’alaihi wa sallam.
Kunyah dan Nama Lengkap beliau rahimahullah
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdillah bin Hayyan bin Abdillah bin Anas bin ‘Auf bin Qosith bin Mazin bin Syaiban Adz Dzuhli Asy-Syaibani Al-Marwazi Al-Baghdadi.
Lahir pada bulan Rabi’ul Awal tahun 164 Hijriyah di kota Marwa. Beliau lebih dikenal dengan Ahmad bin Hanbal, disandarkan kepada kakeknya. Karena sosok kakeknya lebih dikenal daripada ayahnya. Ayahnya meninggal ketika beliau masih berusia 3 tahun. Kemudian sang ibu yang bernama Shafiyah binti Maimunah membawanya ke kota Baghdad. Ibunya benar-benar mengasuhnya dengan pendidikan yang sangat baik hingga beliau tumbuh menjadi seorang yang berakhlak mulia.
Perjalanan beliau dalam menuntut ilmu
Sungguh mengagumkan semangat Al-Imam Ahmad bin Hanbal di dalam menuntut ilmu. Beliau hafal Al-Qur’an pada masa kanak-kanak. Beliau juga belajar membaca dan menulis. Semasa kecil beliau aktif mendatangi kuttab (semacam TPA di zaman sekarang).
Kemudian pada tahun 179 Hijriyah, saat usianya 15 tahun, beliau memulai menuntut ilmu kepada para ulama terkenal di masanya. Beliau awali dengan menimba ilmu kepada para ulama Baghdad, di kota yang ia tinggali.
Di kota Baghdad ini, beliau belajar sejumlah ulama, diantaranya:
1. Al-Imam Abu Yusuf, murid senior Al-Imam Abu Hanifah.
2. Al-Imam Husyaim bin Abi Basyir. Beliau mendengarkan dan sekaligus menghafal banyak hadits darinya selama 4 tahun.
3. ‘Umair bin Abdillah bin Khalid.
4. Abdurrahman bin Mahdi.
5. Abu Bakr bin ‘Ayyasy.
Pada tahun 183 Hijriyah pada usia 20 tahun, beliau pergi untuk menuntut ilmu kepada para ulama di kota Kufah. Pada tahun 186 H beliau belajar ke Bashrah. Kemudian pada tahun 187 H beliau belajar kepada Sufyan bin ‘Uyainah di Qullah, sekaligus menunaikan ibadah haji yang pertama kali. Kemudian pada tahun 197 H beliau belajar kepada Al-Imam ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani di Yaman bersama Yahya bin Ma’in.
Yahya bin Ma’in menceritakan: “Aku keluar ke Shan’a bersama Ahmad bin Hanbal untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq Ash Shan’ani. Dalam perjalanan dari Baghdad ke Yaman, kami melewati Makkah. Kami pun menunaikan ibadah haji. Ketika sedang thawaf, tiba-tiba aku berjumpa dengan ‘Abdurrazaq, beliau sedang thawaf di Baitullah. Beliau sedang menunaikan ibadah haji pada tahun itu. Aku pun mengucapkan salam kepada beliau dan aku kabarkan bahwa aku bersama Ahmad bin Hanbal. Maka beliau mendoakan Ahmad dan memujinya. Yahya bin Ma’in melanjutkan, “Lalu aku kembali kepada Ahmad dan berkata kepadanya, “Sungguh Allah telah mendekatkan langkah kita, mencukupkan nafkah atas kita, dan mengistirahatkan kita dari perjalanan selama satu bulan. Abdurrazaq ada di sini. Mari kita mendengarkan hadits dari beliau!”
Maka Ahmad berkata, “Sungguh tatkala di Baghdad aku telah berniat untuk mendengarkan hadits dari ‘Abdurrazaq di Shan’a. Tidak demi Allah, aku tidak akan mengubah niatku selamanya.’ Setelah menyelesaikan ibadah haji, kami berangkat ke Shan’a. Kemudian habislah bekal Ahmad ketika kami berada di Shan’a. Maka ‘Abdurrazaq menawarkan uang kepadanya, tetapi dia menolaknya dan tidak mau menerima bantuan dari siapa pun. Beliau pun akhirnya bekerja membuat tali celana dan makan dari hasil penjualannya.” Sebuah perjalanan yang sangat berat mulai dari Baghdad (‘Iraq) sampai ke Shan’a (Yaman). Namun beliau mengatakan: “Apalah arti beratnya perjalanan yang aku alami dibandingkan dengan ilmu yang aku dapatkan dari Abdurrazaq.”
Al-Imam Abdurrazaq sering menangis jika disebutkan nama Ahmad bin Hanbal dihadapannya, karena teringat akan semangat dan penderitaannya dalam menuntut ilmu serta kebaikan akhlaknya.
Beliau melakukan perjalanan dalam rangka menuntut ilmu ke berbagai negeri seperti Syam, Maroko, Aljazair, Makkah, Madinah, Hijaz, Yaman, Irak, Persia, Khurasan dan berbagai daerah yang lain. Kemudian barulah kembali ke Baghdad.
Pada umur 40 tahun, beliau mulai mengajar dan memberikan fatwa. Dan pada umur tersebut pula beliau menikah dan melahirkan keturunan yang menjadi para ulama seperti Abdullah dan Shalih. Beliau tidak pernah berhenti untuk terus menuntut ilmu. Bahkan, walaupun usianya telah senja dan telah mencapai tingkatan seorang Imam, beliau tetap menuntut ilmu.
Guru-guru beliau
Beliau menuntut ilmu dari para ulama besar seperti Husyaim bin Abi Basyir, Sufyan bin Uyainah, Al-Qadhi Abu Yusuf, Yazid bin Harun, Abdullah bin Al-Mubarak, Waki’, Isma’il bin ‘Ulayyah, Abdurrahman bin Mahdi, Al-Imam Asy-Syafi’i, Abdurrazaq, Muhammad bin Ja’far (Ghundar), Jarir bin Abdul Hamid, Hafsh bin Ghiyats, Al-Walid bin Muslim, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, Abu Nu’aim Al-Fadhl bin Dukain dan lain-lain.
Al-Imam Adz Dzahabi menyebutkan dalam kitab As-Siyar, jumlah guru-guru Al-Imam Ahmad yang beliau riwayatkan dalam Musnadnya lebih dari 280 orang.
Murid-murid beliau
Para ulama yang pernah belajar kepada beliau adalah para ulama besar pula seperti Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhli, Al-Imam Al-Bukhari, Al-Imam Muslim, Abu Dawud, An-Nasai, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Qilabah, Baqi bin Makhlad, Ali bin Al-Madini, Abu Bakr Al-Atsram, Shalih dan Abdullah (putra beliau), dan sejumlah ulama besar lainnya.
Bahkan yang dulunya pernah menjadi guru-guru beliau, kemudian mereka meriwayatkan hadits dari beliau seperti Al-Imam Abdurrazaq, Al-Hasan bin Musa Al-Asyyab, Al-Imam Asy-Syafi’i.
Al-Imam Asy-Syafi’i ketika meriwayatkan dari Al-Imam Ahmad tidak menyebutkan namanya bahkan dengan gelarnya, “Telah menghaditskan kepadaku Ats-Tsiqat (seorang yang terpercaya).
Demikian pula teman-temannya seperjuangan dalam menuntut ilmu, mereka juga meriwayatkan dari beliau, seperti Yahya bin Ma’in.
Ahlak dan Ibadah Beliau rahimahullah
Pertumbuhan beliau berpengaruh terhadap kematangan dan kedewasaannya. Sampai-sampai sebagian ulama menyatakan kekaguman akan adab dan kebaikan akhlaknya, “Aku mengeluarkan biaya untuk anakku dengan mendatangkan kepada mereka para pendidik agar mereka mempunyai adab, namun aku lihat mereka tidak berhasil. Sedangkan ini (Ahmad bin Hanbal) adalah seorang anak yatim, lihatlah oleh kalian bagaimana dia!”
Beliau adalah seorang yang menyukai kebersihan, suka memakai pakaian berwarna putih, paling perhatian terhadap dirinya, merawat dengan baik kumisnya, rambut kepalanya dan bulu tubuhnya.
Orang-orang yang hadir di majelis beliau tidak sekedar menimba ilmunya saja bahkan kebanyakan mereka hanya sekedar ingin mengetahui akhlaq beliau.
Majelis yang diadakan oleh beliau dihadiri oleh sekitar 5000 orang. Yang mencatat pelajaran yang beliau sampaikan jumlahnya adalah kurang dari 500 orang. Sementara sisanya sekitar 4500 orang tidak mencatat pelajaran yang beliau sampaikan namun sekedar memperhatikan akhlak dan samt (baiknya penampilan dalam perkara agama) beliau.
Yahya bin Ma’in berkata: “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad. Kami bersahabat dengannya selama 50 tahun. Dan belum pernah kulihat ia membanggakan dirinya atas kami dengan sesuatu yang memang hal itu ada pada dirinya.”
Beliau juga sangat benci apabila namanya disebut-sebut (dipuji) di tengah-tengah manusia, sehingga beliau pernah berkata kepada seseorang: “Jadilah engkau orang yang tidak dikenal, karena sungguh aku benar-benar telah diuji dengan kemasyhuran.”
Beliau menolak untuk dicatat fatwa dan pendapatnya. Berkata seseorang kepada beliau: “Aku ingin menulis permasalahan-permasalahan ini, karena aku takut lupa.” Berkata beliau: “Sesungguhnya aku tidak suka, engkau mencatat pendapatku.”
Beliau adalah seorang yang sangat kuat ibadahnya. Putra beliau yang bernama Abdullah menceritakan tentang kebiasaan ayahnya: ” Dahulu ayahku shalat sehari semalam sebanyak 300 rakaat. Dan tatkala kondisi fisik beliau mulai melemah akibat pengaruh dari penyiksaan yang pernah dialaminya maka beliau hanya mampu shalat sehari semalam sebanyak 150 rakaat.”
Abdullah mengatakan: “Terkadang aku mendengar ayah pada waktu sahur mendoakan kebaikan untuk beberapa orang dengan menyebut namanya. Ayah adalah orang yang banyak berdoa dan meringankan doanya. Jika ayah shalat Isya, maka ayah membaguskan shalatnya kemudian berwitir lalu tidur sebentar kemudian bangun dan shalat lagi. Bila ayah puasa, beliau suka untuk menjaganya kemudian berbuka sampai waktu yang ditentukan oleh Allah. Ayah tidak pernah meninggalkan puasa Senin-Kamis dan puasa ayyamul bidh (puasa tiga hari, tanggal 13, 14, 15 dalam bulan Hijriyah).
Dalam riwayat lain beliau berkata: “Ayah membaca Al-Qur’an setiap harinya 1/7 Al-Qur’an. Beliau tidur setelah Isya dengan tidur yang ringan kemudian bangun dan menghidupkan malamnya dengan berdoa dan shalat.
Suatu hari ada salah seorang murid beliau menginap di rumahnya. Maka beliau menyiapkan air untuknya (agar ia bisa berwudhu). Maka tatkala pagi harinya, beliau mendapati air tersebut masih utuh, maka beliau berkata: “Subhanallah, seorang penuntut ilmu tidak melakukan dzikir pada malam harinya?”
Beliau telah melakukan haji sebanyak lima kali, tiga kali diantaranya beliau lakukan dengan berjalan kali dari Baghdad dan pada salah satu hajinya beliau pernah menginfakkan hartanya sebanyak 30 dirham.
Ujian yang menimpa beliau
Beliau menerima ujian yang sangat berat dan panjang selama 3 masa kekhalifahan yaitu Al-Ma’mun, Al-Mu’tashim, dan Al-Watsiq. Beliau dimasukkan ke dalam penjara kemudian dicambuk atau disiksa dengan berbagai bentuk penyiksaan. Itu semua beliau lalui dengan kesabaran dalam rangka menjaga kemurnian aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, yaitu Al-Qur’an adalah kalamullah dan bukan makhluk. Di masa itu, aqidah sesat yang menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk (bukan kalamullah) diterima dan dijadikan ketetapan resmi oleh pemerintah.
Sedangkan umat manusia menunggu untuk mencatat pernyataan (fatwa) beliau. Seandainya beliau tidak sabar menjaga kemurnian aqidah yang benar, dan menyatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk, niscaya manusia akan mengiktui beliau. Namun beliau tetap tegar dan tabah menerima semua ujian tersebut. Walaupun beliau harus mengalami penderitaan yang sangat. Pernah beliau mengalami 80 kali cambukan yang kalau seandainya cambukan tersebut diarahkan kepada seekor gajah niscaya ia akan mati. Namun beliau menerima semua itu dengan penuh kesabaran demi mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah.
Sampai akhirnya, pada masa khalifah Al-Mutawakkil, beliau dibebaskan dari segala bentuk penyiksaan tersebut.
Wafat beliau rahimahullah
Pada Rabu malam tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 241 Hijriyah, beliau mengalami sakit yang cukup serius. Sakit beliau semakin hari semakin bertambah parah. Manusia pun berduyun-duyun siang dan malam datang untuk menjenguk dan menyalami beliau. Kemudian pada hari Jum’at tanggal 12 Rabi’ul Awal, di hari yang ke sembilan dari sakitnya, mereka berkumpul di rumah beliau sampai memenuhi jalan-jalan dan gang. Tak lama kemudian pada siang harinya beliau menghembuskan nafas yang terakhir. Maka meledaklah tangisan dan air mata mengalir membasahi bumi Baghdad. Beliau wafat dalam usia 77 tahun. Sekitar 1,7 juta manusia ikut mengantarkan jenazah beliau. Kaum muslimin dan bahkan orang-orang Yahudi, Nasrani serta Majusi turut berkabung pada hari tersebut.
Selamat jalan, semoga Allah merahmatimu dengan rahmat-Nya yang luas dan menempatkanmu di tempat yang mulia di Jannah-Nya.
Maraji’:
1. Musthalah Hadits karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, hal. 63-66.
2. Pewaris Para Nabi hal. 49,55,91,94,173,1843. Mahkota yang hilang hal.39
4. Kitab Fadhail Ash-Shahabah jilid I hal 25-32.
5. Siyar A’lamin Nubala
6. Al-Bidayah wan Nihayah
7. Mawa’izh Al-Imam Ahmad
Buletin Islam Al Ilmu Edisi No : 29/VII/VIII/1431
Sumber: http://www.buletin-alilmu.com/?p=475

Powered By Facebook

QUNUT SUBUH

PERTANYAAN:
Apakah Rasul baca doa qunut bila shalat shubuh sepanjang hayat? Kapan beliau berqunut? Mohon penjelasan dengan dasar hadits shahih lengkap!



Jawab:
Pertanyaan senada pernah dilayangkan kepada Syeikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin.
Beliau ditanya,
“Apakah disyariatkan menggunakan doa qunut witir (yaitu allahummahdini fiman hadaita …) pada rakaat terakhir shalat shubuh?!”
Jawaban beliau,
“Doa qunut witir yang terkenal yang Nabi ajarkan kepada al Hasan bin Ali yaitu allahummahdini fiman hadaita …tidak terdapat dalil yang menunjukkan bolehnya menggunakan doa tersebut untuk selain shalat witir. Tidak terdapat satupun riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi berqunut dengan membaca doa tersebut baik pada shalat shubuh ataupun shalat yang lain.
Qunut dengan menggunakan doa tersebut di shalat shubuh sama sekali tidak ada dasarnya dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sedangkan qunut shubuh namun dengan doa yang lain maka inilah yang diperselisihkan di antara para ulama. Ada dua pendapat dalam hal ini. Pendapat yang paling tepat adalah tidak ada qunut pada shalat shubuh kecuali ada sebab yang terkait dengan kaum muslimin secara umum.
Misalnya ada bencana selain wabah penyakit yang menimpa kaum muslimin maka kaum muslimin disyariatkan untuk berqunut pada semua shalat wajib, termasuk di dalamnya shalat shubuh, agar Allah menghilangkan bencana dari kaum muslimin.
Meski demikian, andai imam melakukan qunut pada shalat shubuh maka seharusnya makmum tetap mengikuti qunut imam dan mengaminkan doanya sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Ahmad dalam rangka menjaga persatuan kaum muslimin.
Sedangkan timbulnya permusuhan dan kebencian karena perbedaan pendapat semacam ini adalah suatu yang tidak sepatutnya terjadi. Masalah ini adalah termasuk masalah yang dibolehkan untuk berijtihad di dalamnya. Menjadi kewajiban setiap muslim dan para penuntut ilmu secara khusus untuk berlapang dada ketika ada perbedaan pendapat antara dirinya dengan saudaranya sesama muslim. Terlebih lagi jika diketahui bahwa saudaranya tersebut memiliki niat yang baik dan tujuan yang benar. Mereka tidaklah menginginkan melainkan kebenaran. Sedangkan masalah yang diperselisihkan adalah masalah ijtihadiah.
Dalam kondisi demikian maka pendapat kita bagi orang yang berbeda dengan kita tidaklah lebih benar jika dibandingkan dengan pendapat orang tersebut bagi kita. Hal ini dikarenakan pendapat yang ada hanya berdasar ijtihad dan tidak ada dalil tegas dalam masalah tersebut. Bagaimanakah kita salahkan ijtihad orang lain tanpa mau menyalahkan ijtihad kita. Sungguh ini adalah bentuk kezaliman dan permusuhan dalam penilaian terhadap pendapat” (Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/12-13, pertanyaan no 772, Maktabah Syamilah).
Pada kesempatan lain, Ibnu Utsaimin mengatakan,
“Qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab syar’i yang menuntut untuk melakukannya adalah perbuatan yang menyelisihi sunnah Rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah qunut shubuh secara terus menerus tanpa sebab. Yang ada beliau melakukan qunut di semua shalat wajib ketika ada sebab.
Para ulama menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan qunut di semua shalat wajib jika ada bencana yang menimpa kaum muslimin yang mengharuskan untuk melakukan qunut. Qunut ini tidak hanya khusus pada shalat shubuh namun dilakukan pada semua shalat wajib.
Tentang qunut nazilah (qunut karena ada bencana yang terjadi), para ulama bersilang pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya, apakah penguasa yaitu pucuk pimpinan tertinggi di suatu negara ataukah semua imam yang memimpin shalat berjamaah di suatu masjid ataukah semua orang boleh qunut nazilah meski dia shalat sendirian.
Ada ulama yang berpendapat bahwa qunut nazilah hanya dilakukan oleh penguasa. Alasannya hanya Nabi saja yang melakukan qunut nazilah di masjid beliau. Tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa selain juga mengadakan qunut nazilat pada saat itu.
Pendapat kedua, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah imam shalat berjamaah. Alasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadakan qunut karena beliau adalah imam masjid. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku mengerjakan shalat” (HR Bukhari).
Pendapat ketiga, yang berhak melakukan qunut nazilah adalah semua orang yang mengerjakan shalat karena qunut ini dilakukan disebabkan bencana yang menimpa kaum muslimin. Sedangkan orang yang beriman itu bagaikan sebuah bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat ketiga. Sehingga qunut nazilah bisa dilakukan oleh penguasa muslim di suatu negara, para imam shalat berjamaah demikian pula orang-orang yang mengerjakan shalat sendirian.
Akan tetapi tidak diperbolehkan melakukan qunut dalam shalat shubuh secara terus menerus tanpa ada sebab yang melatarbelakanginya karena perbuatan tersebut menyelisihi petunjuk Nabi.
Bila ada sebab maka boleh melakukan qunut di semua shalat wajib yang lima meski ada perbedaan pendapat tentang siapa saja yang boleh melakukannya sebagaimana telah disinggung di atas.
Akan tetapi bacaan qunut dalam qunut nazilah bukanlah bacaan qunut witir yaitu “allahummahdini fiman hadaita” dst. Yang benar doa qunut nazilah adalah doa yang sesuai dengan kondisi yang menyebabkan qunut nazilah dilakukan. Demikianlah yang dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Jika seorang itu menjadi makmum sedangkan imamnya melakukan qunut shubuh apakah makmum mengikuti imam dengan mengangkat tangan dan mengaminkan doa qunut imam ataukah diam saja?
Jawabannya, sikap yang benar adalah mengaminkan doa imam sambil mengangkat tangan dalam rangka mengikuti imam karena khawatir merusak persatuan.
Imam Ahmad menegaskan bahwa seorang yang menjadi makmum dengan orang yang melakukan qunut shubuh itu tetap mengikuti imam dan mengaminkan doa imam. Padahal Imam Ahmad dalam pendapatnya yang terkenal yang mengatakan bahwa qunut shubuh itu tidak disyariatkan. Meski demikian, beliau membolehkan untuk mengikuti imam yang melakukan qunut shubuh karena dikhawatirkan menyelisihi imam dalam hal ini akan menimbulkan perselisihan hati di antara jamaah masjid tersebut.
Inilah yang diajarkan oleh para shahabat. Khalifah Utsman di akhir-akhir masa kekhilafahannya tidak mengqashar shalat saat mabit di Mina ketika pelaksanaan ibadah haji. Tindakan beliau ini diingkari oleh para shahabat. Meski demikian, para shahabat tetap bermakmum di belakang Khalifah Utsman. Sehingga mereka juga tidak mengqashar shalat. Adalah Ibnu Mas’ud diantara yang mengingkari perbuatan Utsman tersebut. Suatu ketika, ada yang berkata kepada Ibnu Mas’ud,
“Wahai Abu Abdirrahman (yaitu Ibnu Mas’ud) bagaimanakah bisa-bisanya engkau mengerjakan shalat bersama amirul mukminin Utsman tanpa qashar sedangkan Nabi, Abu Bakar dan Umar tidak pernah melakukannya. Beliau mengatakan, “Menyelisihi imam shalat adalah sebuah keburukan” (Diriwayatkan oleh Abu Daud)”
(Kutub wa Rasail Ibnu Utsaimin 208/14-16, pertanyaan no 774, Maktabah Syamilah).

Powered By Facebook

KAPAN KITA SEHARUSNYA MENGANGKAT TANGAN DALAM BERDO'A ?



نعم، أما المسألة ما وجد مقتضاه في زمان النبي-صلى الله عليه و سلم- ولم يفعل ففعله بدعة فلا شك في هذا. لأنه إذا وجد سببه في زمان النبي- صلى الله عليه و سلم- ولم يفعله دل ذلك على أنه غير مشروع. إذ لو كان مشروعا لفعله النبي- صلى الله عليه و سلم- ومن ذلك مثلا رفع اليدين في الدعاء في المواطن التى ورد أن النبي-صلى الله عليه و سلم- دعا فيها ولم يرفع. المقتضي موجود وهو طلب الاستجابة ولكن النبي-صلى الله عليه و سلم- لم يرفع يديه فرفع اليدين في هذه المواطن بدعة.
Syaikh Dr Sulaiman ar Ruhaili mengatakan, “Amal ibadah yang di masa hidupnya Nabi telah dijumpai faktor pendorong untuk melakukannya namun ternyata Nabi tidak melakukannya maka melakukannya adalah bid’ah. Kaedah ini tidaklah diragukan kebenarannya. Karena di masa hidup Nabi sudah dijumpai sebab untuk melakukannya namun Nabi tidak melakukannya, hal ini menunjukkan bahwa hal itu tidak dituntunkan karena andai saja itu dituntunkan tentu saja Nabi akan melakukannya.
Contohnya adalah doa sambil angkat tangan dalam situasi yang terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi ketika itu berdoa tanpa sambil angkat tangan. Faktor pendorong untuk mengangkat tangan ketika itu sudah ada yaitu keinginan agar doa yang dipanjatkan dikabulkan oleh Allah akan tetapi ternyata Nabi tidak mengangkat tangannya saat itu. Mengangkat tangan dalam kondisi ini hukumnya adalah bid’ah.
فمن جاء يرفع يديه في صلاة الجمعة وهو يخطب أو يؤمن على دعاء الخطيب هذا نقول هذه بدعة لأنه وجد سببها في زمان النبي-صلى الله عليه و سلم- ولم يفعله
Jika ada yang berdoa sambil mengangkat kedua tangannya saat menyampaikan khutbah Jumat atau saat mengamini doa khatib, kita katakan bahwa perbuatan ini hukumnya adalah bid’ah karena sebab untuk melakukannya sudah dijumpai di masa Nabi namun Nabi sendiri tidak melakukannya.
ولهذا من باب الفائدة:أقول: يقول أهل العلم الدعاء رفع اليدين في الدعاء له ثلاثة أحكام، سنة وبدعة ومستحب.
Oleh karena itu sebagai tambahan pengetahuan kami sampaikan bahwa para ulama menjelaskan bahwa angkat tangan ketika berdoa itu memiliki tiga status hukum, sunnah, bid’ah dan mustahab (dianjurkan).
أما السنية فهي المواطن التي ثبث أن النبي- صلى الله عليه و سلم- رفع فيها. فالرفع سنة، مجرد الرفع هذه العبادة، سنة تقتدي بالنبي- صلى الله عليه و سلم- مثل ما في الاستسقاء مثلا.
Angkat tangan ketika berdoa hukumnya sunnah manakala dilakukan pada sikon yang terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi mengangkat tangannya sambil berdoa ketika itu. Dalam hal ini, mengangkat tangan adalah sunnah Nabi. Mengangkat tangan dalam kondisi ini adalah ibadah. Sejalan dengan sunnah manakala anda meneladani Nabi semisal angkat tangan ketika doa untuk meminta hujan.
والبدعة في المواطن التي ثبت أن النبي-صلى الله عليه و سلم- دعا ولم يرفع مثل الدعاء في الجمعة ومثل الدعاء عند الطواف تجد أن بعض المسلمين يمشي ويطوف حول الكعبة ويرفع يديه يدعو، هذا بدعة لأنه ثبت عن النبي-صلى الله عليه و سلم- الدعاء ولم يثبت أنه رفع.
Mengangkat tangan dalam doa adalah bidah manakala dilakukan pada kondisi tertentu yang Nabi ketika itu berdoa namun beliau tidak mengangkat tangannya saat itu semisal doa dalam khutbah Jumat dan doa saat tawaf. Kita jumpai sebagian kaum muslimin ketika berjalan mengelilingi Ka’bah mereka berdoa sambil mengangkat kedua tangannya. Perbuatan ini adalah bid’ah karena Nabi berdoa ketika melakukan tawaf akan tetapi beliau tidak mengangkat tangannya.
ومستحب في المواطن التي لم يثبت عن النبي- صلى الله عليه و سلم- أنه دعا فيها فإن رفع اليدين في الدعاء مستحب لأنه ثبت أنه من أسباب الإجابة وفعل ما يقتضي الإجابة مستحب، فيستحب للإنسان إذا دعا دعاء مطلقا أن يرفع يديه لأنها من أسباب الإجابة.
Angkat tangan ketika berdoa adalah dianjurkan manakala dilakukan pada situasi yang tidak terdapat dalil yang menunjukkan bahwa Nabi berdoa ketika itu. Angkat tangan ketika berdoa adalah amalan yang dianjurkan karena terdapat hadits sahih yang menjelaskan bahwa angkat tangan dalam doa adalah salah satu sebab dikabulkannya doa dan melakukan hal yang menyebabkan doa dikabulkan adalah suatu hal yang dianjurkan. Sehingga dianjurkan bagi orang yang berdoa dengan doa mutlak [baca: doa masalah] untuk mengangkat kedua tangannya karena hal tersebut adalah salah satu sebab dikabulkannya doa.
كذا، كل دعاء ثبت عن النبي-صلى الله عليه و سلم- ولم يثبت أنه رفع فالرفع بدعة. وكل دعاء ثبت عن النبي-صلى الله عليه و سلم- أنه دعا ورفع فالرفع سنة كما في الدعاء بعد رمي الجمر كما في الدعاء علي الصفا والمروة ونحو هذا
Demikianlah, semua doa yang sahih dari Nabi namun ketika itu beliau tidak mengangkat tangannya maka mengangkat tangan saat itu hukumnya adalah bid’ah.
Sebaliknya, semua doa yang riwayat yang sahih menunjukkan bahwa Nabi berdoa ketika itu sambil mengangkat kedua tangannya maka mengangkat tangan saat itu adalah sunnah Nabi semisal doa setelah melempar jumrah [ula dan wustho, pent] dan doa saat berada di bukit Shafa dan Marwa ketika melakukan sai”
[Penjelasan di atas disampaikan oleh Syaikh Sulaiman ar Ruhaili pada sesi tanya jawab dalam daurah beliau yang mengkaji kitab Qawaid Nuraniyyah karya Ibnu Taimiyyah.

Powered By Facebook

HUKUM MENCIUM TANGAN

Tanya: “Ustadz benarkah bahwa mencium tangan orang dan membungkukkan badan maka hal tersebut bukanlah syariat Islam melainkan ajaran kaum feodalis? Jika demikian, mohon dijelaskan. Jazakumullah”.
Jawab:
Ada beberapa hal yang ditanyakan:
Pertama, masalah cium tangan
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani mengatakan,
“Tentang cium tangan dalam hal ini terdapat banyak hadits dan riwayat dari salaf yang secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadits tersebut shahih dari Nabi. Oleh karena itu, kami berpandangan bolehnya mencium tangan seorang ulama (baca:ustadz atau kyai) jika memenuhi beberapa syarat berikut ini.
1. Cium tangan tersebut tidaklah dijadikan sebagai kebiasaan. Sehingga pak kyai terbiasa menjulurkan tangannya kepada murid-muridnya. Begitu pula murid terbiasa ngalap berkah dengan mencium tangan gurunya. Hal ini dikarenakan Nabi sendiri jarang-jarang tangan beliau dicium oleh para shahabat. Jika demikian maka tidak boleh menjadikannya sebagai kebiasaan yang dilakukan terus menerus sebagaimana kita ketahui dalam pembahasan kaedah-kaedah fiqh.
2. Cium tangan tersebut tidaklah menyebabkan ulama tersebut merasa sombong dan lebih baik dari pada yang lain serta menganggap dirinyalah yang paling hebat sebagai realita yang ada pada sebagai kyai.
3. Cium tangan tersebut tidak menyebabkan hilangnya sunnah Nabi yang sudah diketahui semisal jabat tangan. Jabat tangan adalah suatu amal yang dianjurkan berdasarkan perbuatan dan sabda Nabi. Jabat tangan adalah sebab rontoknya dosa-dosa orang yang melakukannya sebagaimana terdapat dalam beberapa hadits. Oleh karena itu, tidaklah diperbolehkan menghilangkan sunnah jabat tangan karena mengejar suatu amalan yang status maksimalnya adalah amalan yang dibolehkan (Silsilah Shahihah 1/159, Maktabah Syamilah).
Akan tetapi perlu kita tambahkan syarat keempat yaitu ulama yang dicium tangannya tersebut adalah ulama ahli sunnah bukan ulama pembela amalan-amalan bid’ah.
Kedua, membungkukkan badan sebagai penghormatan
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَنْحَنِى بَعْضُنَا لِبَعْضٍ قَالَ « لاَ ». قُلْنَا أَيُعَانِقُ بَعْضُنَا بَعْضًا قَالَ لاَ وَلَكِنْ تَصَافَحُوا
Dari Anas bin Malik, Kami bertanya kepada Nabi, “Wahai Rasulullah, apakah sebagian kami boleh membungkukkan badan kepada orang yang dia temui?”. Rasulullah bersabda, “Tidak boleh”. Kami bertanya lagi, “Apakah kami boleh berpelukan jika saling bertemu?”. Nabi bersabda, “Tidak boleh. Yang benar hendaknya kalian saling berjabat tangan” (HR Ibnu Majah no 3702 dan dinilai hasan oleh al Albani).
Dari uraian di atas semoga bisa dipahami dan dibedakan antara amalan yang dibolehkan oleh syariat Islam dan yang tidak diperbolehkan.

Powered By Facebook

HARAMKAH MUSIK ?

Sesungguhnya Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah menciptakan makhluk-Nya, memerintahkan mereka untuk taat kepada-Nya, melarang mereka dari bermaksiat kepada-Nya, menjelaskan kepada mereka akan buah dari ketaatan berikut jalan-jalannya, serta memberikan peringatan kepada mereka dari maksiat dan akibatnya. Iblis laknatullah telah mengetahui bahwa poros segala urusan adalah hati, jika hati tersebut sehat dan istiqamah, maka istiqamah pulalah seluruh anggota tubuh di atas ketaatan kepada rabbnya, dan jika hati itu bengkok, maka menyimpanglah seluruh anggota tubuh kepada jalan kebinasaan. Maka hati adalah raja, sementara anggota badan adalah bala tentaranya, jika sang raja baik, maka bala tentarapun menjadi baik, namun jika sang raja buruk, bala tentaranyapun menjadi buruk.

Ketahuilah, mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- memberikan rahmat-Nya kepadaku dan anda sekalian, bahwa termasuk musibah yang merata, yang dengannya hati diuji dengan keras adalah rasa cinta terhadap nyanyian dan musik. Mendengarkan nyanyian menjadi lebih dicintai oleh mayoritas manusia daripada mendengar ayat-ayat al-Qur`an. Seandainya salah seorang diantara mereka mendengarkan al-Qur`an dari awal sampai akhir maka tidaklah al-Qur`an itu akan menggugah hatinya dengan tenang. Tetapi jika dibacakan kepadanya nyanyian-nyanyian, serta alunan musik maka pendengaranmereka terketuk dan hati mereka tergetar dan bergoncang. Maka subhanallah, Maha Suci Allah dari orang yang terfitnah ini, yang telah menyia-nyiakan bagian kedekatannya kepada Allah Allah -Subhanahu wa ta’ala-, dan rela dengan bagian kesesatan syetan.

Kalimat-kalimat berikut ini adalah sebuah nasihat untuk memberikan peringatan dan kasih sayang. Marilah kita bersama-sama memperhatikan jalan hidayah dan petunjuk yang berada didalam al-qur`an dan sunnah, karena sebaik-baik perkataan adalah firman Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-. Setelah itu kita perhatikan perkataan para ulama ahlus sunnah tentang musik dan nyanyian yang merupakan seruling-seruling syetan.

Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ

“Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah …” (QS. Luqman: 6)

Ibnu Katsir -Rahimahullah- berkata dalam menafsiri ayat tersebut: “Allah -Subhanahu wa ta’ala- menyebutkan keadaan orang-orang celaka yang berpaling dari manfaat mendengarkan kalamullah, dan malah mendengarkan seruling-seruling, nyanyian-nyanyian dengan berbagai nada, serta alat-alat musik.”

Sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Mas’ud -Radaiallahuanhu- tentang firman Allah -Subhanahu wa ta’ala- ini: “(Lahwul hadits) Itu adalah nyanyian, demi Allah yang tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Dia.” Dan dia mengulangi ucapan tersebut hingga tiga kali.

Imam Ibnu Katsir -Rahimahullah- juga menukil perkataan Hasan Bashri -Rahimahullah-: “Ayat ini turun tentang nyanyian dan seruling (alat-alat musik).”

Demikian pula firman Allah -Subhanahu wa ta’ala-:

وَاسْتَفْزِزْ مَنِ اسْتَطَعْتَ مِنْهُمْ بِصَوْتِكَ

“Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu,…” (QS. Al-Isra`: 64)

Ibnu Katsir -Rahimahullah- berkata: “Mujahid berkata: “(yaitu) dengan permainan dan nyanyian (musik).” Al-Qurthubi -Rahimahullah- berkata: “Dari Ibnu ‘Abbas -Radiallahuanhuma- dan Mujahid -Rahimahullah-: “(yaitu dengan) nyanyian, seruling dan permainan.” Ad-Dhahhak -Rahimahullah- berkata: “(yaitu dengan) suara seruling.”

Adapun di dalam sunnah, maka telah diriwayatkan di dalam Shahih al-Bukhari secara mu’allaq dengan bentuk jazm (pasti, kuat) bahwa Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

« لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِيْ قَوْمٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ ، وَالْحَرِيْرَ ، وَالْخَمْرَ ، وَالْمَعَازِفَ … »

“Benar-benar akan ada diantara umatku yang akan menghalalkan perzinahan, sutera (bagi laki-laki), khamar dan alat-alat musik.” (HR. al-Bukhari, menurut al-Hafizh hadits diriwayatkan secara maushul (sambung sanadnya) dari 10 jalur. Hadits ini shahih)

Hadits tersebut menjadi dalil yang jelas akan haramnya alat-alat musik dari beberapa sisi:

1. Sabda beliau [يَسْتَحِلُّوْنَ] ‘mereka menghalalkannya’, maka kalimat tersebut adalah jelas bahwa yang telah disebutkan tersebut, yang diantaranya adalah alat-alat musik diharamkan di dalam syariat yang kemudian dihalalkan oleh orang-orang tersebut.

2. Beliau -Shalallahu alaihi wa salam- menggandengkan penyebutan alat-alat musik dengan perkara-perkara yang diharamkan secara qath’i (pasti), yaitu dengan zina, dan khamar. Seandainya musik tersebut tidak diharamkan maka tidak akan digandengkan bersama keduanya. Maka sungguh benar Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- terhadap apa yang telah beliau sabdakan. Zaman ini telah berputar, yang munkar menjadi ma’fur, dan yang ma’ruf menjadi munkar. Manusia telah menganggap baik apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya -Shalallahu alaihi wa salam- dan mereka mengingkari orang-orang yang mencacatnya.

Ibnu Majah dan Thabrani meriwayatkan dari Sahl bin Sa’d dari Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- bahwa beliau -Shalallahu alaihi wa salam- bersabda:

“Akan ada pada umatku penenggelaman, semburan (api), dan perubahan bentuk.” Dikatakan kepada beliau: “Kapan, Wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Jika telah tampak (merajalela, dan menyebar) alat-alat musik, para penyanyi wanita, dan telah dianggap halal khamer.” (Dishahihkan oleh al-Albani dalam as-Shahihah (1787))

Imam as-Sya’bi berkata: Dilaknatlah orang yang bernyanyi dan yang mendengarkannya.”

Musik dan nyanyian menurut imam empat

Adapun imam empat madzhab, maka perkataan mereka tentang masalah ini sudah terkenal bagi setiap orang yang memperhatikan kitab-kitab mereka serta meneliti ucapan-ucapan mereka.

Imam Abu Hanifah -Rahimahullah- berkata: “Nyanyian (musik, hukumnya) haram dan termasuk bagian dari dosa-dosa.” Bahkan pengikut-pengikut beliau menjelaskan dengan terang-terangan akan keharaman seluruh alat-alat musik. Secara terang-terangan mereka mereka menyatakan bahwa musik adalah sebuah maksiat yang mewajibkan kefasikan, dan tertolaknya kesaksian karenanya. Bahkan yang lebih nyata dari itu adalah mereka berkata: “Sesungguhnya mendengarkan nyanyian (musik) adalah kefasikan, dan menikmatinya adalah kekufuran.”

Adapun Imam Malik -Rahimahullah-, beliau pernah ditanya tentang nyanyian (musik) yang dirukhshah (dibolehkan, diberi keringanan) oleh penduduk Madinah, maka beliau berkata: “Yang melakukannya disisi kami hanyalah orang-orang fasiq.” Dan beliau berkata: “Jika ada seseorang membeli seorang budak wanita, dan ternyata dia mendapatinya adalah seorang penyanyi, maka boleh baginya untuk mengembalikan budak wanita itu dengan menyebutkan aibnya (karena keahlian nyanyi merupakan aib).”

Adapun Imam Syafi’i -Rahimahullah-, maka para sahabat-sahabatnya yang mengenal madzhabnya secara terang-terangnya menegaskan akan keharaman alat-alat musik tersebut. Bahkan telah mutawatir darinya bahwa dia berkata: “Aku tinggalkan Baghdad (yang padanya terdapat) sebuah perkara yang dibuat-buat oleh orang-orang zindiq, mereka menamakannya dengan at-Taghbir, dengannya mereka memalingkan manusia dari al-qur`an.” At-Taghbir adalah sya’ir-sya’ir yang mengajak untuk zuhud di dunia, dimana salah seorang vokalis melantunkannya sesuai dengan nada-nada pukulan gendang dan semisalnya.

Maka subhanallah, Imam Syafi’i secara terang-terangan menegaskan bahwa orang yang melakukan perbuatan tersebut adalah zindiq, maka bagaimana pula seandainya dia mendengar nyanyian-nyanyian musik di zaman sekarang yang para pembantu-pembantu syetan telah berupaya untuk memperdengarkannya kepada manusia baik ridha atau tidak ridha? Bagaimana seandainya Imam Syafi’i -Rahimahullah- mendengar perbuatan sebagian orang yang menisbahkkan dirinya kepada madzhabnya pada hari ini yang mengatakan bolehnya mendengarnya nyanyian (musik) dan tidak haram? Dan mereka mengatakan bahwa itu adalah syair yang kebaikannya adalah baik, dan keburukannya adalah buruk? Dimana mereka telah mencampur aduk perkara manusia dalam urusan agama mereka, dan seakan-akan mereka datang dari jagat lain dan tidak mengenal nyanyian (musik) pada hari ini.

Imam Syafi’i -Rahimahullah- berkata: “Pemilik budak wanita, jika dia mengumpulkan manusia untuk mendengarkan nyanyian budak tersebut, maka dia adalah orang dungu yang tertolak kesaksiannya.” Dan beliau berkata tentangnya dengan perkataan keras: “Itu adalah perbuatan diyatsah (yaitu perbuatan yang menunjukkan tidak adanya cemburu pada diri seorang laki-laki terhadap kemaksiatan yang dilakukan oleh keluarganya, dan sikap seorang dayyuts diancam oleh Nabi dengan “Tidak akan masuk kedalam sorga.”)

Adapun Imam Ahmad -Rahimahullah-, maka putra beliau yaitu Abdullah bin Ahmad berkata: “Aku pernah bertanya kepada bapakkau tentang nyanyian (musik), maka dia menjawab: “Nyanyian (musik) itu akan menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, dan itu tidaklah membuatkan takjub.” Kemudian dia menyebutkan ucapan Imam Malik -Rahimahullah-: “Yang melakukannya di sisi kami hanyalah orang-orang fasiq.”

Maka merekalah Imam empat madzhab, mereka semua telah bersepakat akan keharaman nyanyian (musik), dan menegaskan dengan terang-terangan tentangnya. Bahkan telah dinukil dari para ulama kaum muslimin akan adanya ijma’ atas masalah tersebut. Mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- merahmati Ibnul Qayyim saat beliau berkata tentang musik: “Maka mendengarnya adalah haram menurut Imam-Imam Madzhab, dan ulama muslim yang lain, dan tidak pantas bagi orang yang telah mencium aroma ilmu untuk bersikap tawaqquf (diam bimbang) dalam mengharamkan hal tersebut. Minimal, musik itu adalah syi’arnya orang-orang fasiq dan para peminum khamr.

Maka inilah perkataan para imam, yang berbicara dengan hak, seraya memberikan nasihat kepada para hamba-hamba Allah. Seandainya seorang pemerhati memperhatikan nyanyian dan musik yang mengetuk pendengaran-pendengaran mereka, maka pastilah mereka akan memberikan komentar dengan komentar para imam tersebut.

Seorang laki-laki berkata kepada Ibnu ‘Abbas -Radiallahuanhuma-: “Apa yang anda katakan tentang nyanyian (musik)? Apakah halal atau haram?” Maka dia menjawab: “Bagaimana pendapatmu tentang kebenaran dan kebatilah jika keduanya datang pada hari kiamat, maka dimanakah kiranya nyanyian (musik) tersebut?” Maka laki-laki itu menjawab: “Akan berada bersama kebatilan.” Berkatalah Ibnu ‘Abbas -Radiallahuanhuma-: “Pergilah, engkau telah memberikan fatwa kepada dirimu sendiri.”

Inilah dia Ibnu ‘Abbas -Radiallahuanhuma- telah menetapkan hujjah atas lelaki tersebut, dan lelaki tersebut telah memutuskan perkara atas dirinya dengan dirinya sendiri. Itu adalah sebuah perkara yang bisa diketahui dengan fitrah sekalipun kitabullah dan sunnah Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- telah berbicara tentangnya dan sebagian kecilnya sudah mencukupi bagi orang-orang yang adil dalam mencari kebenaran.

Maka ketahuilah –mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- memberikan rahmat-Nya kepada kita semua- bahwasannya nyanyian (musik) dan al-Qur`an tidak akan berkumpul didalam dada untuk selamanya. Dikarenakan al-Qur`an melarang mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan untuk menjaga kesucian dan keutamaan. Sementara nyanyian (musik) memerintahkan untuk mengikuti hawa nafsu, menggelorakannya dan menggerakkannya kepada segenap keburukan. Sesungguhnya tidaklah anda melihat seseorang yang hidupnya condong kepada nyanyian (musik) kecuali padanya ada kesesatan dari jalan hidayah, dan padanya terdapat keinginan untuk mendengarkan nyanyian (musik) daripada al-Qur`an. Seandainya dia mendengar ayat-ayat al-Qur`an, maka menjadi beratlah atasnya, ayat-ayat tersebut akan berlalu atasnya seakan-akan seperti gunung yang dia melihat padanya terdapat beban berat dan kebosanan. Dan seandainya dia mendengar nyanyian (musik) berjam-jam lamanya, maka jiwanya menjadi tenteram, dan syaitanlah yang menghias-hiasinya. Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:

وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

“Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan- akan ada sumbat di kedua telinganya; Maka beri kabar gembiralah dia dengan azab yang pedih.” (QS. Luqman: 7)

Ibnu Katsir -Rahimahullah- berkata: “yaitu, orang yang menerima permainan, kesia-siaan, dan musik-musik tersebut jika dibacakan ayat-ayat Qur`an meerka berpaling dan membelakanginya.”

Mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- merahmati Amirul Mukminin Umar ibn Abdil Aziz -Rahimahullah- saat dia menulis kepada pendidik putranya: “Hendaknya pertama kali yang engkau ajarkan adalah dengan menundukkan diri dari permainan-permainan, yang dimulai oleh syaitan dan hasil akhirnya adalah kemurkaan ar-Rahman. Karena sesungguhnya telah sampai kepadaku dari orang-orang yang terpercaya dari ahli ilmu bahwa suara musik-musik, mendengarkan nyanyian dan gemar dengannya akan menumbuhkan kemunafikan didalam dada sebagaimana lumur tumbuh diatas air.”

Maka konsistenlah ­-mudah-mudahan Allah -Subhanahu wa ta’ala- memberikan rahmat-Nya kepada kami dan kepada anda semua- kepada jalan hidayah dan ketaatan. Dan ketahuilah bahwa orang yang memishkan diri dari jalan kaum mukminin maka dia telah mengharuskan penyesalan, kerugian dan kesesatan atas dirinya. Maka jadilah anda semua diatas titian para salaf shalih yang Allah -Subhanahu wa ta’ala- telah memberikan kesaksian kepada mereka semua dengan ridha. Dan janganlah mencari selain mereka, Allah -Subhanahu wa ta’ala- berfirman:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa’: 115)

Allahlah yang berada dibalik setiap maksud dan tujuan. (AR)

Powered By Facebook