A. Pengertian Hukum Syara’
Hukum syara’
menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau
ketetapan. Yang dimaksud dengan yang menyangkut perbuatan mukallaf adalah
perbuatan yang dilakukan oleh manusia dewasa yang berakal sehat meliputi
perbuatan hati. Seperti firman Allah :
أوفوا بالعقود
“penuhilah
janji”
Adalah doktrin
syar’i (Allah) yang berhubungan dengan menepati janji dengan tuntutan
melaksanakan.Nash yang keluar dari syar’i yang menunjukkan tuntutan, pilihan,
atau ketetapan itulah yang disebut hukum syara’ menurut istilah ahli ushul.
Adapun hukum
syara’ menurut istilah ahli fikih adalah pengeruh yang ditimbulkan oleh doktrin
syar’i dalam perbuatan (mukallaf), seperti kewajiban, keharaman, dan kebolehan.
Jadi firman Allah أوفوا بالعقود (penuhilah janji), maksudnya adalah kewajiban memenuhi janji. Nash
itu sendiri adalah hukum menurut istilah ahli ushul, sedangkan kewajiban
memenuhi adalah hukum menurut istilah ahli fikih.
Dari
pengertian hukum syara’ menurut istilah ahli ushul dapat disimpulkan bahwa
hukum itu tidak hanya satu macam. Para ahli ushul memberi istilah pada hukum
yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf dalam bentuk tuntutan atau pilihan
dengan Hukum Taklifi, dan hukum yang berhubungan dengan perbuatan mukallaf
dalam bentuk ketetapan dengan Hukum Wadh’i.
Disini kami
akan mencoba menjelaskan hukum taklifi saja sedangkan hukum wadh’i akan dibahas
oleh kelompok berikutnya.
B. Pengertian Hukum Taklifi
Hukum taklifi
adalah hukum yang menuntut pada mukallaf untuk berbuat, menuntut untuk tidak
berbuat atau menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat atau tidak.
Contoh hukum
yang menuntut kepada mukallaf untuk berbuat adalah firman Allah SWT :
خذ مِن أموالهم صدقة
“ Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka” (Q.S. At-Taubah : 103).
Contoh hukum
yang menuntut kepada mukallaf untuk tidak berbuat adalah firman Allah SWT :
لا يسخر قوم من قوم
“ Janganlah
suatu kaum mengolok-olokan kaum yang lain” (Q.S. Al-Hujurat:11).
Contoh hukum
yang menghendaki agar mukallaf memilih antara berbuat dan meninggalkan adalah
firman Allah SWT :
وإذا حللتم فاصطادوا
“ Dan apabila
kamu telah menyelesaikan ibadah haji maka kamu boleh berburu” (Q.S. Al-Maidah :
2).
C. Pembagian Hukum Taklifi
Hukum taklifi
terbagi kedalam lima bagian, yaitu :
1. Wajib
وهو يثاب على فعله ويعاقب على تركه
Yaitu khitab
syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang pasti,
sehingga orang yang melakukan sesuatu yang wajib akan mendapat pahala dan
menunggalkannya mendapat dosa atau siksa. Seperti kewajiban shalat. Firman
Allah SWT :
فأقيمواالصلاة إنّ الصلاة كانت على المؤمنين
كتابا موقوتا
“.....maka
dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan
waktunya atas orang-orang yang beriman” (Q.S. An-Nisa : 103).
Jumhur Fuqaha
menyamakan antara wajib dan fardhu, sedangkan ulama Hanafiyah membedakan kedua
istilah ini. Apabila tuntutan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan itu
berdasarkan dalil-dalil qath’i, baik dari Al-Qur’an maupun Hadits Mutawatir,
maka dinamai fardhu, dan apabila berdasarkan dalil-dalil zhanni, yakni
hadits-hadits ahad, maka disebut wajib.
2. Mandub atau
Sunah
وهو يثاب على فعله ولا يعاقب على تركه
Yaitu khitab
syar’i yang menuntut agar dilakukan suatu perbuatan dengan tuntutan yang tidak
harus dikerjakan. Sehingga orang yang melakukan nadb akan mendapat pahala dan
meninggalkannya tidak mendapat dosa.
Contohnya
firman Allah SWT :
ياآيها الذين أمنوا إذا تداينتم بدين إلى
أجل مسمى فأكتبوه
“Hai
orang-orang yang beriman, apabila kamu saling memperhutangkan dengan suatu
hutang sampai waktu yang ditentukkan hendaklah kamu menulisnya.....” (Q.S.
Al-Baqarah : 282).
Menulis dan
mencatat hutang itu tidaklah wajib, walaupun dalam firman tersebut dilukiskan
dengan fi’il amr, yang pada umumnya fi’il amr itu mengandung arti wajib,
dikarenakan pada perintah tersebut didapatkan suatu qarinah yang menunjuk pada
ketidakwajibannya mencatat hutang-piutang. Yakni firman Allah SWT :
فإن أمن بعضكم بعضا فليؤدّ الذي اؤتمن أمنته
“Akan tetapi
jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang
dipercayai itu menunaikan amanatnya.....” (Q.S. Al-Baqarah : 283).
3. Haram
وهو يثاب على تركه ويعاقب على فعله
Yaitu khitab
syar’i yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
tegas. Sehingga orang yang melakukan hal yang haram akan mendapat dosa atau
siksa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.
Contohnya
firman Allah SWT :
قل تعالوا أتل ما حرّم ربّكم عليكم ألاّ
تشركوا به شيئا
“Katakanlah
:”Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu janganlah
kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia...” (Q.S.Al-An’am : 151).
4. Makruh
وهو يثاب على تركه ولا يعاقب على فعله
Yaitu khitab
syar’i yang menuntut untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tuntutan yang
tidak tegas agar ditinggalkan. Sehingga orang yang melaksanakannya tidak
mendapat dosa sedangkan orang yang meninggalkannya mendapat pahala.
Contohnya
firman Allah SWT :
ياآيها الذين أمنوا لا تسئلوا عن أشياء
إن تبد لكم تسؤكم
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika
diterangkan kepadamu, niscaya menyusahkanmu...” (Q.S.Al-Maidah : 101).
Larangan
menanyakan sesuatu yang membahayakan itu adalah makruh bukan haram, karena
Allah SWT memerintahkan kepada kita untuk menanyakan kepada para ahli tentang
hal-hal yang belum kita ketahui. Firman Allah SWT :
فسئلوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون
“Tanyakanlah
kepada para ahli jika kamu tidak mengerti” (Q.S.An-Nahl : 43).
5. Mubah
وهو لا يثاب و لا يعاقب على فعله او تركه
Yaitu khitab
syar’i yang mengandung hak pilihan bagi orang mukallaf antara mengerjakan atau
meninggalkannya. Sehingga orang yang melaksanakannya maupun yang
meninggalkannya tidak mendapat pahala atau dosa.
Contohnya
firman Allah SWT :
فمن اضطرّ غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه
“Tetapi barang
siapa dalam keadaan terpaksa (memakan bangkai, darah dan daging babi), sedang
ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa
baginya” (Q.S.Al-Baqarah : 173).
D. Hukum-hukum menurut Fuqoha
1. Wajib
Para ulama
ushul fiqh mengemukakan bahwa hukum wajib itu bisa dibagi dari berbagai segi,
yaitu:
a. Dilihat
dari segi waktu, wajib dibagi atas wajib muthlaq dan wajib al-mu’aqqot.
Wajib muthlaq
adalah sesuatu yang dituntut syar’i untuk dilaksanakan mukallaf tanpa
ditentukan waktunya. Misalnya, kewajiban membayar kafarat sebagai hukuman bagi
orang yang melanggar sumpahnya. Orang yang bersumpah tanpa mengaitkan dengan
waktu, lalu ia melanggar sumpahnya itu, maka kafarat-nya boleh dibayar kapan
saja.
Adapun wajib
al-mu’aqqot adalah kewajiban yang harus dlaksanakan orang mukallaf pad
waktu-waktu tertentu seperti puasa romadhon. Wajb al-mu’qqot terbagi lagi dalam
tiga macam, yaitu:
Wajib muwassa’, yaitu kewajiban yang ditentukan
waktunya tatapi waktunya ini cukup lapang sehingga dalam waktu itu bisa juga
dikerjakan amalan yang sejenis misalnya waktu-waktu yang ditentukan untuk
melakukan shalat. Jadi ketika seorang mukallaf melakukan shalat dzuhur , ia
juga bisa melakukan shalat sunnah.
Wajib mudhayyaq, yaitu kewajiban yang waktunya secara
khusus diperuntukan pada suatu amalan dan waktunya itu tidak bisa digunakan
untuk kewajiban lain. Seperti puasa ramadhan.
Wajib zhu asy-syibhain, yaitu kewajiban yang
mempuanyai waktu yang lapang tetapi tidak bisa digunakan untuk amalan sejenis
secara berulang-ulang. Misalnya waktu haji itu cukup lapang dan seseorang bisa
melaksanakan beberapa amalan haji pada waktu itu berkali-kali tetapi yang di perhitungkan
syara’ hanya satu amalan saja.
b. Dilihat
dari segi ukuran yang diwajibkan hukum wajib terbagi menjadi dua, yaitu:
Wajib al-muhaddad, adalah suatu kewajiban yang
ditentukan ukurannya oleh syara’ dengan ukuran tertentu, misalnya jumlah harta yang
wajib dizkatkan dan jumlah rakaat dalam shalat.
Wajib ghairu al-muhaddad, adalah kewajiban yang tidak
ditantukan syara’ ukuran dan jumlahnya tetapi diserahkan kepada para ulama dan
pemimpin ummat untuk menentukannya. Misalnya penentuan hukuman dalam jarimah
ta’zir (tindak pidana diluar hudud dan qishos) yang diserahkan kepada para
qodhi atau hakim.
c. Dilihat
dari segi orang yang dibebani kewajiban. Hukum wajib dibagi pada wajib al-‘aini
dan wajib al-kifa’i.
Wajib al-‘aini, adalah kewajiban yang ditujukan pada
setiap peribadi orang mukallaf. Misalnya kewajiba shalat.
Wajib al-kifa’i, adalah kewajiban yang ditujukan
kepada seluruh orang mukallaf, tetapi apabila telah dikerjakan oleh sebagian
daro mereka maka kewajiban itu telah terpenuhi dan orang yang tidak
mengerjakannya tidak dituntut untuk melaksanakanya. Misalnya pelaksanaan shlat
jenazah.
d. Dilihat
dari segi kandungan perintah, para ulama usul fiqh membagi wajib kepada dua
bagian. Yaitu:
Wajib al-mu’ayyan, adalah kewajiban yang terkait
dengan sesuatu yang diperintahkan, seperti shalat, puasa dan harga barang dalam
jual beli.
Wajib al-mukhayyar, adalah suatu kewajiban tertentu
yang bisa dipilih orang mukallaf. Misalnya firman Allah dalam surah
al-maidah:89 mengemukakan bahwa kafarat sumpah itu terdiri atas memberi makan
fakir miskin, memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan budak.
2. Mandhub
Para ulama
ushul fiqh membagi mandhunb menjadi tiga macam. Yaitu:
Sunnah al-muaqqadah, yaitu pekerjaan yang apabila
dikerjakan mandapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa, tetapi
yang meninggalkannya mendapat celaan. Misalnya shalat-shalat sunnah yang
mengiringi shalat lima waktu (rawatib).
Sunnah ghairu al-muaqqadah. Yaitu perbuatan yang
apabila dikerjakan mandapat pahala dan jika ditinggalkan tidak mendapat dosa
serta tidak mendapat celaan dari syar’i. Misalnya bersedakah, shalat dhuha dan
puasa pada hari senin dan kamis.
Sunnah al-zaidah. Yaitu suatu pekerjaan untuk
mengikuti apa yang dilakukan rasulullah SAW. Sehingga apabila dikerjakan
mendapan pahala, jika ditinggalkan tidak mendapat dosa dan tidak mendapat
celaan. Amalan seperti ini adalah berupa sikap dan tindak-tanduk Rasulullah
sebagai manusia biasa. Seperti cara tidur, cara makan atau cara berpakaian.
3. Haram
Haram terbagi
ke dalam dua bagian, yaitu:
Haram Lidzatih yang mempunyai arti sesuatu yang
ditetapkan oleh syar’i keharaman melakukannya sejak semula dikarenakan ia
mengandung kemafsadatan dan kemudharatan.
Haram Lighairih yang mempunyai arti sesuatu yang tidak
ditetapkan oleh syar’i keharamannya akan tetapi ada sesuatu yang menyebabkan
keharamannya. Seperti shalat dengan pakaian acak-acakan, jual beli dengan
menipu, mentalak istri di waktu haid.
4. Makruh
Ulama
hanafiyyah membagi makruh kedalam dua bentuk. Yaitu:
Makruh tanzih, yaitu sesuatu yang dituntut syar’i
unutk ditinggalkan tetapi dengan tuntutan yang tidak pasti. Misalnya memakan
daging kuda.
Makruh takhrim, yaitu tuntutan syar’i untuk
meninggalkan suatu perbuatan dan tuntutan itu melalui cara yang pasti tetapi
didasarkan kepada dalail yang zhanni. Seperti larangan memakai sutra dan
perhiasan emas bagi kaum laki-laki.
5. Mubah
Imam abi ishaq
asyyathibi mengemukakan pembagian mubah dari segi setatusnya yang bersifat
juz’i dan kulli.
Mubah bi al-juz’i al-mathlub bi al-kulli’ala jihat
ar-rujub. Yaitu hukum mubah yang secara parsial bisa berubah menjadi wajib
apabila dilihat dari keseluruhan atau kepantingan ummat secara keseluruhan.
Misalnya makan, minum dan berpakaian.
Mubah bi al-juz’i al-mathlub bi al-kulli’ala jihat
al-mandub. Yaitu hukum mubah secara juz’i berubah menjadi mandub apabila
dilihat dari segi kulli. Misalnya dalam masalah makan dan minum melebihi
kebutuhan.
Mubah bi al-juz’i al-muharromah bi al-kulli. Artinya
mubah yang secara juz’i bisa diharamkan apabila dilihat dari segi kulli.
Misalnya mencela anak dan senantiasa makan dengan makanan yang lezat-lezat.
Mubah bi al-juz’i al-makruh bi al-kulli. Artinya
hukum mubah bsa berubah menjadi makruh apabla dilihat dari akibat negatif perbuatan
itu secara kulli. Seperti bernyanyi.
Hukum syara’
menurut istilah ulama ahli ushul adalah khithob (doktrin) syar’i yang
berhubungan dengan perbuatan mukallaf baik berupa tuntutan, pilihan, atau
ketetapan. Adapun hukum syara’ menurut istilah ahli fikih adalah pengeruh yang
ditimbulkan oleh doktrin syar’i dalam perbuatan (mukallaf), seperti kewajiban,
keharaman, dan kebolehan. Hukum terbagi menjadi dua bagian, yaitu hukum taklifi
dan hukum wadh’i. Hukum taklifi adalah hukum yang menuntut pada mukallaf untuk
berbuat, menuntut untuk tidak berbuat atau menghendaki agar mukallaf memilih
antara berbuat atau tidak.
Hukum taklifi
terbagi kedalam lima bagian, yaitu :
Wajib
Mandub atau Sunah
Haram
Makruh
Mubah
Referensi:
Hasbiyallah.
2009. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV.Insan Mandiri
Khallaf, Abdul
Wahhab. 2003. Ilmu Ushul Fiqh. Jakarta : Pustaka Amani
Syafe’i,
Rachmat. 2010. Ilmu Ushul Fiqh. Bandung : CV. Pustaka Setia
Powered By Facebook a>
Tidak ada komentar:
Posting Komentar