KEUTAMAAN SEORANG YANG MENUNTUT ILMU SYAR’I
Seseorang yang mempelajari ilmu syar’i akan mendapatkan keutamaan
yang tidak diperoleh oleh orang yang tidak mempelajarinya. Oleh karena
itu, Allah membedakan ‘nilai’ seorang hamba berdasarkan ilmu. Ada
banyak keutamaan yang dapat diperoleh oleh para penuntut ilmu syar’i,
namun penulis akan menguraikan beberapa keutamaan di antaranya adalah:
Pertama, Allah
Ta’ala akan mengangkat derajatnya, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya,
… يَرْفَعِ اللهُ الَّذِيْنَ ءَامَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَتٍۗ …
Artinya:
“… Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman
diantara kalian dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.” (Qs. Al-Mujadilah: 11)
Dalam ayat di atas, Allah
Ta’ala mengabarkan bahwa Dia akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman karena mereka berhak mendapatkannya. Huruf
al (ال ) dalam kata
al-‘ilm (العلم ) pada ayat di atas menunjukkan
ahdiyyah atau pengkhususan terhadap satu jenis ilmu, bukan menunjukkan
jinsiyyah
atau keumuman atas semua jenis ilmu, karena yang mendapatkan hak untuk
dinaikkan derajatnya oleh Allah hanyalah orang yang memiliki ilmu
syari’at yang dibawa oleh Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan mencakup pada semua jenis ilmu. [Lihat
Bahjatun Nazhirin (II/462-463) dan
Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/285)]
Disebutkan pula bahwa pernah ada seseorang yang lehernya cacat,
sehingga dia selalu menjadi bahan ejekan orang-orang disekitarnya.
Kemudian ibunya berkata kepadanya,
“Hendaklah engkau menuntut ilmu, niscaya Allah akan mengangkat derajatmu.”
Lalu orang tersebut menuntut ilmu syar’i sampai dia menjadi seorang
yang ‘alim (pandai), sehingga dia diangkat menjadi Hakim di Mekah
selama 20 tahun. Dan jika ada seseorang yang memiliki perkara duduk
dihadapannya, gemetarlah seluruh tubuhnya sampai dia berdiri. [Lihat
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 26) dan
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 33)]
Kedua, Allah
Ta’ala menjadikan kebaikan untuknya, sebagaimana disebutkan dalam sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْـرًا يُـفَـقِـهْهُ فِي الدِّيْنِ .
Artinya:
“Barang siapa yang dikehendaki kebaikannya oleh Allah, Dia akan menjadikannya mengerti tentang (urusan) agamanya.”
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 71, 3116, 7312), Muslim
(no. 1037), Ahmad (IV/92, 95, 96), Ibnu ‘Abdil Barr dalam
Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/122-123, no. 84), dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan
radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan mempelajari ilmu syar’i
dibandingkan ilmu-ilmu lainnya. Dan ini juga menunjukkan bahwa orang
yang tidak diberikan pemahaman dalam agamanya adalah orang yang tidak
dikehendaki kebaikannya oleh Allah. Sebaliknya orang yang dikehendaki
kebaikannya oleh Allah maka Dia memberikannya pemahaman dalam agamanya.
[Lihat
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 49),
Bahjatun Nazhirin (II/463),
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 36) dan
Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/ 286)]
Imam Sufyan Ats-Tsauri
rahimahullah pernah berkata,
“Kebaikan di dunia adalah rizki yang baik dan ilmu, sedangkan kebaikan di akhirat adalah Surga.” [Lihat
Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (I/230) dan
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 39)]
Ketiga, orang yang menuntut ilmu syar’i dan memiliki
ilmu syar’i dikecualikan dari laknat Allah, sebagaimana disebutkan
dalam sebuah riwayat,
أَلاَ إِنَّ الدُّنْيَـا مَلْعُوْنَةٌ مَلْعُوْنٌ
مَـافِيْـهَـا إِلاَّ ذِكْرُ اللهِ وَمَا وَالاَهُ وَعَالِمٌ أَوْ
مُتَعَـلِّـمٌ .
Artinya:
“Ketahuilah, sesungguhnya dunia itu dilaknat dan
dilaknat pula apa yang ada di dalamnya, kecuali dzikir kepada Allah dan
ketaatan kepada-Nya, seorang ‘alim, dan seorang yang menuntut ilmu.” (Hadits hasan, diriwayatkan oleh Tirmidzi (no. 2322), Ibnu Majah (no. 4112), Al-Baihaqi dalam
Syu’abul Iman (no. 1708), Ibnu Abi ‘Ashim dalam
Az-Zuhd (no. 57), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam
Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/150, no. 135), dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu]
Hadits di atas menyebutkan tentang keutamaan ilmu syar’i,
orang-orang yang berilmu, dan orang-orang yang menuntutnya. Dalam
proses menuntut ilmu syar’i, manusia terbagi menjadi dua, yaitu orang
yang ‘alim sebagai pengajar dan orang yang menuntutnya (pelajar).
Keduanya berada di atas jalan yang lurus dan selamat. [Lihat
Bahjatun Nazhirin (I/542-543) dan
Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (II/307)]
Keempat, orang yang menuntut ilmu syar’i diibaratkan seperti seorang yang berjihad di jalan Allah
Ta’ala. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
مَنْ دَخَـلَ مَـسْجِـدَنَا هَـذَا لِيَتَعَلَّمَ خَيْرًا
أَوْلِيُعَلِّمَهُ كَانَ كَالْمُجَاهِدِ فِي سَبِيْل اللهِ، وَمَنْ
دَخَـلَهُ لِغَيْرِ ذَلِكَ كَانَ كَالنَّاظِرِ إِلَى مَالَيْسَ لَهُ .
Artinya:
“Barang siapa yang memasuki masjid kami ini (masjid
Nabawi) dengan tujuan untuk mempelajari kebaikan atau mengajarkannya,
dia ibarat seorang yang berjihad di jalan Allah. Dan barang siapa yang
memasukinya dengan tujuan selain itu, dia ibarat orang yang sedang
melihat sesuatu yang bukan miliknya.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (II/350, 526-527), Ibnu Majah (no. 227), Ibnu Hibban (no. 87-
At-Ta’liqat), Ibnu Abi Syaibah (no. 3306), dan Al-Hakim (I/91), dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu]
Abud Darda
radhiyallahu’anhu pernah berkata,
“Barang
siapa yang berpendapat bahwa perginya seseorang untuk menuntut ilmu itu
tidak termasuk jihad, sungguh, dia kurang akalnya.” [Lihat
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 145) dan
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 45)]
Berjihad dengan
hujjah (dalil) dan keterangan lebih didahulukan dari pada jihad dengan pedang dan tombak. Sebagaimana Allah
Ta’ala pernah memerintahkan Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam agar berjihad dengan Al-Qur’an untuk melawan orang-orang kafir, seperti disebutkan dalam firman-Nya,
فَـلاَ تَطِعِ الْكَـفِـرِيْنَ وَجَـهِـدْ هُمْ بِهِ جِهَـادًا كَبِيْرًا
Artinya:
“Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah kepada mereka dengan Al-Qur’an dengan jihad yang besar.” (Qs. Al-Furqan: 52)
Kelima, orang yang menuntut ilmu syar’i akan
dimudahkan jalannya menuju Surga, dimohonkan ampun oleh penduduk langit
dan bumi, serta dinaungi oleh sayap-sayap para Malaikat. Sebagaimana
disebutkan dalam sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
مَنْ سَلَكَ طَرِيْـقًـا يَبْـتَغِي فِيْهِ عِلْمًا
سَهَّـلَ اللهُ لَهُ طَرِيْـقًـا إِلَى الْجَنَّـةِ، وَإِنَّ
الْمَـلاَئِـكَةَ لَتَضَعُ أَجْـنِحَـتَهَا لِطَالِبِ الْعِلْمِ رِضًا
بِمَا يَصْنَعُ، وَإِنَّ الْعَالِمَ لَيَـسْـتَغْـفِـرُ لَهُ مَنْ فِي
السَّمَـا وَاتِ وَمَنْ فِي الأَرْضِ حَتَّى الْحِـيْتَـانُ فِي الْمَـاءِ .
Artinya:
“Barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu
maka Allah memudahkan jalannya menuju Surga. Sesungguhnya para Malaikat
membentangkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena ridha
atas apa yang mereka lakukan. Dan sesungguhnya orang yang berilmu
benar-benar dimintakan ampun oleh penghuni langit dan bumi, bahkan oleh
ikan-ikan yang berada di dalam air.” [Hadits shahih, diriwayatkan
oleh Abu Dawud (no. 3641), Tirmidzi (no. 2682), Ibnu Majah (no. 223),
Ahmad (V/196), Ad-Darimi (I/98), Ibnu Hibban (88 –
Al-Ihsan dan 80 –
Al-Mawarid), Al-Baghawi dalam
Syarhus Sunnah (I/275-276, no. 129), Ibnu ‘Abdil Barr dalam
Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/174 ,no. 173), dan Ath-Thahawi dalam
Musykilul Atsar (I/429), dari Abud Darda’
radhiyallahu’anhu]
Kalimat
“jalan untuk menuntut ilmu” mengandung dua makna, yaitu:
pertama, menempuh jalan untuk menuntut ilmu dalam artian yang sebenarnya, seperti berjalan kaki menuju majelis-majelis ilmu.
Kedua, menempuh
jalan atau cara yang dapat mengantarkan seseorang untuk memperoleh
ilmu syar’i, seperti membaca, menghapal, menela’ah, dan sebagainya.
Sedangkan kalimat
“Allah memudahkan jalannya menuju Surga” mengandung dua makna juga, yaitu
pertama, Allah
akan memudahkan orang yang menuntut ilmu semata-mata karena mencari
keridhaan Allah, mengambil manfaat, dan mengamalkannya, untuk memasuki
Surga-Nya. Dan
kedua, Allah akan memudahkan jalan baginya menuju Surga ketika melewati titian
ash-shirathal mustaqim pada hari Kiamat dan memudahkannya dari berbagai kengerian pada sebelum dan sesudahnya. [Lihat
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam (II/297,
Qawa’id wa Fawa’id minal Arba’in An-Nawawiyyah (hal. 316-317), dan
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 8-9)]
Jalan menuju Surga yang diperuntukkan bagi para penuntut ilmu ini
merupakan ganjaran dari Allah akibat usaha yang pernah ditempuhnya
selama di dunia untuk mencari ilmu yang akan mengantarkannya kepada
ridha Rabbnya. Sedangkan para Malaikat yang membentangkan
sayap-sayapnya merupakan suatu bentuk kerendahan hati, penghormatan,
dan pengagungan mereka kepada para penyandang dan para pencari martabat
pewaris kenabian ini.
Sementara permohonan ampun yang dilakukan oleh para penghuni langit
dan bumi untuk orang yang berilmu, disebabkan karena upaya mereka untuk
mengajarkan hak-hak makhluk hidup yang telah diciptakan Allah
‘Azza wa Jalla. Dan upaya ini tidak mungkin terwujud kecuali dengan ilmu. [Lihat
Bahjatun Nazhirin (II/469-470) dan
Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (IV/301-302)]
Keenam, seorang yang memiliki ilmu dan
mengajarkannya akan tetap mendapatkan pahala atas ilmu yang telah
diajarkannya tersebut selama ilmu itu diamalkan, meskipun dia telah
meninggal dunia. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَـانُ انْـقَـطَـعَ عَـمَلُهُ إِلاَّ
مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٌ جَارِيَةٌ، وَعِلْمٌ يُنْـتُفَـعُ بِهِ، وَوَلَدٌ
صَالِحٌ يَدْعُولَهُ .
Artinya:
“Apabila seorang manusia meninggal dunia, amalannya
terputus, kecuali tiga hal (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang
bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim (no. 1631), Bukhari dalam
Al-Adabul Mufrad (no.
38), Ahmad (II/372), Abu Dawud (no. 2880), An-Nasa’i (VI/251),
Tirmidzi (no. 1376), Al-Baihaqi (VI/278), dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam
Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/103 ,no. 52), dari Abu Hurairah
radhiyallahu’anhu]
Hadits ini adalah dalil terkuat tentang keutamaan dan kemuliaan ilmu
juga besarnya buah dari ilmu yang dimiliki seseorang. Karena pahala
ilmu yang telah diajarkan kepada orang lain, akan tetap diterima oleh
pemiliknya selama ilmu tersebut diamalkan oleh orang lain. Meskipun dia
telah meninggal dunia dan seluruh amalannya telah terputus, namun
akibat ilmu yang diajarkannya kepada orang lain membuatnya seolah-olah
tetap hidup dan amalnya tidak terputus. Hal ini selain menjadi kenangan
dan sanjungan bagi pemilik ilmu tersebut, juga menjadi kehidupan kedua
baginya, karena dia tetap merasakan pahala yang mengalir untuknya
ketika semua pahala amal perbuatan telah terputus darinya. [Lihat
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 242) dan
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 46)]
KEUTAMAAN SEORANG ‘ALIM DIBANDING SEORANG ‘ABID
Seorang yang berilmu (
‘alim) memiliki keutamaan yang lebih besar dari pada seorang ahli ibadah (
‘abid). Dan keutamaan yang diperolehnya ini semata-mata karena ilmu yang dimilikinya. Sebagaimana pernah disabdakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
فَـضْلُ الْعِـلْمِ خَيْرٌ مِنْ فَـضْلِ الْعِـبَادَةِ، وَخَيْرُ دِيْنَكُمُ الْوَرَعُ .
Artinya:
“Keutamaan ilmu adalah lebih baik dari pada keutamaan ibadah. Dan sebaik-baik agama kalian adalah ketakwaan.” [Hadits hasan, diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam
Al-Ausath (no. 3972) dan Ibnu ‘Abdil Barr dalam
Jami’ Bayanil ‘Ilmi (
ta’liq hadits no. 96 sebagai
syahid), dari Hudzaifah bin Al-Yaman
radhiyallahu’anhu]
Salah seorang sahabat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang juga menjadi menantunya, yakni ‘Ali bin Abi Thalib
radhiyallahu’anhu pernah berkata,
“Seorang
‘alim mendapat ganjaran pahala yang lebih besar dari pada orang yang
melakukan puasa, shalat, dan berjihad di jalan Allah.” [Lihat
Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu (hal. 133) dan
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 38)]
Seorang yang berilmu tidak hanya menjalin hubungan antar dirinya
dengan Rabbnya, melainkan dia juga menjalin hubungan dengan sesamanya
melalui ilmunya, yakni dengan cara menyampaikan ilmu yang dimilikinya.
Lain halnya dengan seorang ahli ibadah, yang dia mendirikan shalat,
menjalankan puasa, dan semisalnya, hanya terjadi antar dirinya dengan
Rabbnya. Akan tetapi, seorang yang berilmu dan menyampaikan ilmunya
kepada orang lain, sesungguhnya dia tidak hanya membawa manfaat untuk
dirinya sendiri, tetapi dia juga memberikan manfaat untuk orang lain.
***
Ilmu merupakan amal shalih yang paling utama dan mulia karena ilmu termasuk ke dalam jihad
fi sabilillah. Karena sesungguhnya agama Allah tidak akan tegak dimuka bumi ini melainkan dengan dua hal, yaitu
pertama, dengan ilmu dan
bayan (penjelasan),
kedua, dengan pedang dan tombak (perang). Namun, para Rasul
‘alaihimush shalatu wa salam tidak pernah sekalipun menyerang suatu kaum yang durhaka kepada Allah
Ta’ala sebelum tegaknya
hujjah (dalil) dan dakwah telah sampai kepada mereka terlebih dahulu.
Senada dengan hal itu, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
rahimahullah pernah berkata, “
Jihad dengan hujjah dan lisan (keterangan) lebih didahulukan dari pada jihad dengan pedang dan tombak.” [Lihat
Al-Kafiyah Asy-Syafiyah fil Intishari lil Firqatin Najiyyah (hal. 35) dan
Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga (hal. 46 dan 331)]
Islam pun mendasari segala pelaksanaan syari’atnya atas dasar ilmu.
Oleh karena itu, seorang Muslim tidak akan mungkin dapat menjalankan
syari’at yang menghimpun ikhlas dan
ittiba’ (beramal sejalan dengan petunjuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam) kecuali dengan ilmu. Karena tanpa ilmu, tidak ada amal yang akan diterima oleh Allah
Ta’ala.
Dengan demikian, kita mengetahui bahwa ilmu menempati kedudukan yang
amat mulia, agung dan utama. Dan sebaik-baik ilmu yang harus dipelajari
dan dimiliki oleh manusia adalah ilmu syar’i.
Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali
hafizhahullah berkata,
“Sebaik-baik
ilmu adalah memberikan perhatian penuh terhadap Kitabullah (yakni
Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai pendampingnya), membacanya dan
membacakannya (kepada orang lain), belajar dan mengajarkannya, memahami
dan merenungkan (kandungannya).” [Lihat
Bahjatun Nazhirin (I/221) dan
Syarah Riyadhush Shalihin Terjemah (I/581)]
Semoga Allah menambahkan ilmu yang bermanfaat kepada kita semua dan
menjauhkan kita dari ilmu yang tidak bermanfaat dan tercela.
وَقُـلْ رَّبِّ زِدْنِى عـلْـمًا
Artinya:
“Dan katakanlah, ‘Wahai Rabbku, tambahkanlah ilmu kepadaku.’” (Qs. Thaha: 14)
اللهُـمَّ انْفَـعْـنِيْ بِمَـا عَـلَّمْتَنِيْ، وَعَـلِّمْنِيْ مَا يَنْـفَعُـنِيْ، وَزِدْنِيْ عِـلْمًـا .
“Yaa Allah, berikanlah manfaat kepadaku dengan apa-apa yang Engkau
ajarkan kepadaku, dan ajarkanlah aku apa-apa yang bermanfaat bagiku.
Dan tambahkanlah ilmu kepadaku.”
والله تعالى أعلم
سبحانك اللهم وبحمدك أشهـد أن لا إله إلا أنت، استغـفـرك وأتوب إليك
***
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Muraja’ah: Ustadz Ammi Nur Baits
Maraji’:
1. Al-‘Ilmu Fadhluhu wa Syarafuhu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah,
tahqiq dan
takhrij: Syaikh ‘Ali bin Hasan bin ‘Ali bin ‘Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari, cetakan Majmu’atut Tuhaf An-Nafa’is Ad-Dauliyyah.
2. Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhish Shalihin Jilid 1, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cetakan Daar Ibnul Jauzy, Riyadh.
3. Fadhlu ‘Ilmi Salaf ‘alal Khalaf, Imam Al-Hafizh Zainuddin Ibnu Rajab Al-Hanbali, cetakan Darul ‘Ammar, Yordania.
4. Hukmus Sihri wal Kahanah wa Ma Yata’allaq Biha, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, cetakan Darul Qasim, Riyadh.
5. I’lamul Muwaqqi’in Jilid II, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cetakan Daar Ibnul Jauzy, Riyadh.
6. Jami’ Bayan Al-‘Ilmi wa Fadhlihi Jilid I, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdil Barr, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
7. Juz Thuruqi Hadits Thalabul ‘Ilmi Faridhatun ‘Ala Kulli Muslim,
Imam Jalaluddin Abul Fadhl ‘Abdirrahman bin Kamaluddin Abi Bakr bin
Muhammad bin Sabiq As-Suyuthi, cetakan Darul ‘Ammar, Yordania.
8. Kitab Al-‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ats-Tsurayya, Riyadh.
9. Menuntut Ilmu Jalan Menuju Surga, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka At-Taqwa, Bogor.
10. Shahih Al-Bukhari, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari, cetakan Darus Salam, Riyadh.
11. Syarah Riyadhush Shalihin (Terjemah Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhish Shalihin) Jilid 2 dan Jilid 4, Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, cetakan Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta
12. Syarah Tsalatsatil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ats-Tsurayya, Riyadh.
13. Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ibnu Haitsam, Kairo.
14. Syarhus Sunnah Jilid 1, Imamul Hadits Al-Faqih Al-Husain bin Mas’ud Al-Baghawi, cetakan Al-Maktab Al-Islamiy, Beirut.
15. Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim Jilid 4, Imam Al-Hafizh Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, cetakan Daar Thayyibah, Riyadh.
16. Ushul Fiqih (Terjemah Al-Ushul min ‘Ilmil Ushul), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Media Hidayah, Yogyakarta